
Talbiyah – KonsultasiSyariah.com
Kupenuhi Panggilan Engkau……Wahai Allah.
Talbiyah antara makna dan hukum syar’i.
لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك لا شريك لك
“Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalak….”
Talbiyah yang terus menggema dan mengguruh di seantera Tanah Haram Makkah yang dikumandangkan para jamaah haji yang beraneka ragam ras, suku dan bangsa. Sungguh satu pemandangan yang menyentuh hati, pemandangan yang mengharukan dan membanggakan. Bagaimana tidak!? Kaum Muslimin yang biasanya berseteru dan berselisih serta berpecah belah, dalam kesempatan itu mengumandangkan satu kalimat dan satu ucapan saja. Mereka berpakaian yang sama dan mengucapkan kalimat yang sama “Labaik Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalak.” Berpakaian putih-putih bagi laki-lakinya dan berpakaian menutup aurat untuk perempuannya, tanpa membeda-bedakan kedudukan dan martabat dunia, bangsa dan suku, ulama dan awam, semuanya bersatu mengucapkan talbiyah menyambut seruan Allah dalam firmanNya:
Khot AL Qur’an
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍۙ ٢٧
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj :27).
Berkata Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala ini : “Ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Ibrahim untuk mengabarkan manusia agar berhaji, Ibrohim berkata:
يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بيتًا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمة أو تراب أو شيئ فقالوا لبيك اللهم لبيك (رواه ابن جرير 17\106)
“Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (Ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu menerima panggilan ini apa saja yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apa saja yang ada, lalu mereka berkata لبيك اللهم لبيك .” (H.R Ibnu Jarir 17/106). (DR. Sholih bin Muhammad Alihasan menyatakan dalam komentar beliau atas kitab Syarhul Umdah karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah 2/579 : “Ini dikeluarkan oleh Abdun bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Haatim dengan sanda-sanad periwayatan dalam tafsir mereka dari Ibnu Abas, Mujahid, ‘Atha’ , Ikrimah, Qatadah dan yang lainnya. Sanad-sanad periwayatan dari mereka ini cukup kuat.”).
Demikian juga Imam Mujahid -salah seorang murid besar Ibnu Abbas- menafsirkan ayat ini dalam pernyataan beliau: Nabi Ibrahim menyeru manusia (dengan menyatakan): “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Robb kalian.” Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya Ibrahim ketika diperintahkan untuk menyeru manusia berhaji, bangkit berdiri diatas maqam (batu tempat beliau berpijak dalam membangun ka’bah (penukil)) dan berkata: “Wahai sekalian manusia, penuhilah seruan Rabb kalian.” Mererka menjawab: “Labaik Labaik.” Maka barang siapa berhaji sekarang ini, maka ia telah memenuhi seruan Nabi Ibrahim ketika itu pada nenek moyang mereka. Ibnu Taimiyah berkata: “Kedua riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Ya’la Al-Maushiliy dengan sanad yang shohih.” Berkata Ibnu Hajar: “Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.’” (Syarhul Umdah 2/579).
Berkata Ibnu Hajar ; ” Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah para Ulama’: ‘Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Nabi Ibrahim ketika memberitahukan manusia untuk berhaji.’” (Fathul Bari 3/406).
Makna Talbiyah
Kata talbiyah berasal dari bahasa Arab dari kata: ( أَلَبَّ بِالْمَكَانِ) jika mendiami dan tinggal ditempat tersebut. Sehingga makna talbiyah adalah senantiasa bersamanya dan bergantung kepadanya seperti orang yang tinggal dan menetap di satu tempat. Sedangkan talbiyah disini bermakna mengucapkan “Labaika Allahumma Labaaik, labaaik Laa Syarika Laka Labaaik Inal Hamda Wan Ni’mata Laka Wal Mulka La Syarikalaka.”
Talbiyah memiliki makna yang agung, karena memuat tauhid dan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini dapat dilihat dari makna kata-kata dalam talbiyah tersebut, sebagaimana berikut ini:
(اللهم) : Wahai Allah.
(لبيك) : Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih), maka saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan kepada-Nya.
(لا شريك لك) : Bermakna tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala sesuatu.
(لبيك) : Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut karena Engkau saja.
(إن الحمد و النعمة لك والملك) : Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan.
(لا شريك لك) : Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu.
Kalau kita mencermati makna kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya, sebagaimana disampaikan oleh Jabir berkata:
فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ
“Rasulullah bertalbiyah dengan tauhid.” (lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh Muhammad Nashiruddin AL Albaniy hal 55).
Hukum-hukum seputar Talbiyah
Talbiyah sebagai satu syiar haji memiliki hukum-hukum dan adab yang harus diperhatikan para jamaah haji, agar dapat sempurna dalam menunaikan dan melaksanakannya. Diantara hal-hal tersebut adalah:
1. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
a.
لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك لا شريك لك
(dari hadits Jabir dalam Muslim dan Ibnu Umar dalalm shahih Bukhari dan Muslim).
b.
لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل (متفق عليه من تلبية ابن عمر).
c.
لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك (عن عائشة رواه البخارى).
d. Talbiyah yang nomor “a” ditambah kalimat:
لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل
(Hadits Jabir yang diriwayatkan Imam Muslim).
2. Kapan memulai Talbiyyah
Talbiyah dimulai setelah berihram, tepatnya ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hajinya, berkata Jabir:
حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di Al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik.” (H.R Muslim).
3. Cara membacanya
Talbiyah ini dibaca dengan mengeraskan suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits As-Saaib bin Kholaad yang berbunyi:
أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالإهلال أو التلبية
“Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah.” (Hadits diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 2/163, Abu Daud 5/260 dan Ibnu Majah 2/991 dan dishohihkan Al-Albaniy dalam Shohih At-Tirmidzi).
oleh karena itu para sahabat Rasulullah mengeraskan suaranya dalam bertalbiyah, sebagaimana dikisahkan Abu Haazim:
كَانَ أَصْحَاب رسول الله إذا أحرموا لم يبلغوا الروحاء حتى تبح أصواتهم
“Para sahabat Rasulullah jika berihrom (bertalbiyah) belum sampai Rauha’ telah serak suara mereka.” (Diriwayatkan oleh Said bin Manshur sebagaimana disampaikan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/94 dengan sanad yang baik. Lihat Al-Wajiiz Fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz hal 242).
Hal ini menunjukkan kerasnya mereka bertalbiyah sampai-sampai kehilangan sebagian suara mereka sebelum sampai di kota Makkah.
Namun demikian, tidak disyari’atkan bertalbiyah secara berjamaah, dipimpin seorang imam, sebagaimana tampak jelas dalam praktek sebagian kaum Muslimin di musim haji. Sebab hal ini merupakan kebid’ahan dalam bertalbiyah. (Lihat Hajjatun Nabi karya Syeikh AL Albaniy hal 112). Akan tetapi apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin, maka tidak mengapa karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu, padahal jumlah mereka sangat banyak. Tentunya hal tersebut sangat memungkinan sekali terjadi talbiyah dengan suara yang berbarengan. Ada hal penting yang harus diperhatikan orang yang bertalbiyah dalam mengangkat suara talbiyahnya yaitu jangan sampai mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga tidak dapat terus bertakbir.
Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.
4. Kapan berhenti bertalbiyah.
Para ulama berbeda pendapat dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumrah atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat:
A. Ketika masuk haram, dan ini pendapat Ibnu Umar, Urwah dan Al-Hasan serta mazdhab maliki.
mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An-Nasaai yang lafadznya:
كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبية ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان النبي كان يفعل ذلك
“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap di Thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian.”
B. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib
C. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thowaf dengan menyentuh (Istilam) Hajar Aswad. Ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta Mazdhab Hanafi. berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara marfu’:
كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر
“Dia menghentikan talbiyah dalam umrah kalau telah menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy dan Al-Baihaqy dan dilemahkan oleh Al-Albany dalam Irwa’ 4/297). Dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:
اعتمر رسول الله ثلاثًا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan dzulqa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) Hajar Aswad.” (H.R Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh AL-Albanny dala Irwa’ 4/297).
Dan mereka berkata : “karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah yaitu thawaf.” Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam (Syarah Umdah 2/461) dan Ibnu Qudamah (Al-Mughny 5/256) akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan hal itu, dan itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Klhuzaimah 4/205-207).
Demikian juga para ulama berbeda pendapat dalam hal ini pada haji selain haji Tamatu’ menjadi beberapa pendapat:
A. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari. Ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-Hasan, Al-Bashry dan Madzhab Malikiyah. Berdalil dengan hadits:
“Haji itu adalah wuquf di Arafah”
sehingga bila sampai Arafah berhenti bertalbiyah karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Namun dalil ini sangat lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Raulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah.
B. Menghentikannya ketika melempar Jumrah Aqabah dan ini pendapat jumhur. Namun mereka pun masih berselisih menjadi dua pendapat:
a. Menghentikan di awal batu yang dilempar dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-fadl bin Al-Abbas:
كنت رديف النبي من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة (رواه الحماعة)
”Aku membonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Arafah ke Mina dan terus menerus bertalbiyah sampi melempar Jumrah Aqabah.” (HR. Jama’ah).
dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz:
خرجت مع رسول الله فما ترك التلبية حتى رمى جمرة العقبة إلا أن يخلطها بتكبير أو تهليل.
“Aku berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak meninggalkan talbiyah sampai beliau melempar Jumrah Aqabah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir.” (HR. Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al-Albani dalam Irwa’ /2966).
Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: “Dan secara makna, maka seorang yang telah sampai di Arafah -walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar Jumrah, dan kalau telah memulai dalam melempar Jumrah maka telah selesai panggilannya.” (Majmu’ Fatawa 26/173).
b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam Jumrah Aqabah dan ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:
أفضت مع النبي من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبية مع آخر حصاة (رواه ابو خزيمة)
“Aku telah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Arafah lalu Beliau terus bertalbiyah sampai melempar Jumrah Aqabah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar.”
Demikian sebagian hukum seputar talbiyah, mudah-mudahan dapat memberi sedikit tambahan pengetahuan kepada kita semua.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi
[wbcr_php_snippet id=”36707″]
Visited 3 times, 3 visit(s) today
Post Views: 1
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime