Dekonstruksi Tafsir Al-Faydh Al-Kasyani atas Ayat Wilayah dan Tanggapan Ulama Sunni
Ayat 55 surah al-Maidah merupakan salah satu ayat penting yang sering menjadi perbincangan dalam tafsir, terutama terkait konsep kepemimpinan dan loyalitas dalam Islam.
اِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوا الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَهُمْ رَاكِعُوْنَ
“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang menegakkan salat dan menunaikan zakat seraya tunduk (kepada Allah).”
Menurut mayoritas ulama Ahlus Sunnah, ayat ini menjelaskan prinsip kepemimpinan dalam komunitas muslim secara umum, yaitu bahwa seorang mukmin hendaknya menjadikan Allah, Rasul, dan sesama mukmin yang taat sebagai wali, yakni pemimpin, penolong, dan pelindung. Namun, dalam tradisi Syiah, ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik sebagai dalil legitimasi spiritual dan politik bagi Ali bin Abi Thalib.
Salah satu mufasir yang menonjol dalam penafsiran bernuansa Syiah adalah al-Fayḍ al-Kāsyānī, yang dalam Tafsīr al-Ṣāfī memberikan tafsiran mendalam dengan landasan doktrin Imamah dan riwayat Ahlul Bait.

Biografi Singkat dan Pemikiran al-Fayḍ al-Kāsyānī
Al-Fayḍ al-Kāsyānī (w. 1091 H/1680 M), bernama lengkap Mullā Muḥsin al-Fayḍ al-Kāsyānī, adalah seorang ulama, filsuf, ahli hadis, dan mufasir besar dari kalangan Syiah Itsnā ‘Asyariyyah (Syiah Dua Belas Imam). Ia merupakan murid dari Mulla Ṣadrā al-Syīrāzī, yaitu tokoh filsafat hikmah muta’āliyah dan juga memiliki kedekatan pemikiran dengan teologi Imāmiyyah yang menempatkan para Imam sebagai sumber kebenaran ilahi setelah Nabi Muhammad ﷺ.
Dalam bidang tafsir, karyanya yang terkenal adalah Tafsīr al-Ṣāfī, yang termasuk dalam corak tafsir bi al-ma’tsūr (berbasis riwayat), namun dengan penekanan kuat pada riwayat-riwayat dari Ahlul Bait. Melalui karya ini, al-Kāsyānī berupaya menyatukan antara tafsir, filsafat, dan tasawuf, sembari mempertahankan otoritas para Imam sebagai penjaga makna sejati Al-Qur’an.
Pemikiran al-Kāsyānī menegaskan bahwa Al-Qur’an tidak bisa dipahami secara utuh tanpa bimbingan para Imam Ma’ṣūm. Ia menulis bahwa sebagaimana Nabi menjadi penerjemah wahyu pertama, para Imam merupakan penerjemah wahyu berikutnya yang menjaga kemurnian maknanya dari penyimpangan. Dengan kata lain, otoritas tafsir bagi al-Kāsyānī bersifat hirarkis dan sakral, menempatkan Imam sebagai mata rantai utama antara manusia dan Tuhan.
Namun, pendekatan ini sering dikritik oleh ulama Ahlus Sunnah karena dianggap terlalu eksklusif dan fanatik terhadap Ahlul Bait, sehingga menafikan otoritas ulama lain yang juga memiliki legitimasi keilmuan dalam memahami Al-Qur’an.
Penafsiran QS al-Maidah: 55 dalam Tafsīr al-Ṣāfī
Menurut al-Fayḍ al-Kāsyānī, ayat ini bukan hanya berbicara tentang solidaritas antarmukmin, melainkan tentang kepemimpinan spiritual dan politik umat setelah Rasulullah . Ia menulis bahwa:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا» يَعْنِي عَلِياً وَأَوْلاَدِهِ الْأَئِمَّةِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Maksud dari وَالَّذِينَ ءَامَنُوا yaitu Sayyidina Ali dan keturunan para Imam hingga hari kiamat. Ia menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Ali bin Abi Thalib yang memberikan cincin kepada seorang pengemis saat rukuk dalam salat. Bagi al-Kāsyānī, tindakan tersebut bukan sekadar sedekah, melainkan simbol spiritual bahwa Ali adalah wali (pemimpin) sejati umat setelah Rasulullah.
Lebih lanjut, dalam Tafsīr al-Ṣāfī, al-Kāsyānī menulis bahwa kata “waliyyukum” (pemimpin kalian) mencakup tiga dimensi penting yaitu Wilāyah Ilāhiyyah, kepemimpinan Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak. Kedua, Wilāyah Nubuwwah, kepemimpinan Rasulullah sebagai penyampai wahyu. Ketiga, Wilāyah Imāmah, kepemimpinan para Imam sebagai penerus spiritual Rasul. Ia menegaskan bahwa memahami Al-Qur’an tanpa bimbingan para Imam akan menghilangkan makna hakikinya, karena para Imam adalah penjaga tafsir sejati wahyu.
Penafsiran ini memperlihatkan pandangan khas Syiah bahwa struktur otoritas agama harus berjenjang dari Allah, Rasul, Imam. Dengan demikian, ayat ini menjadi salah satu dalil teologis paling kuat bagi konsep Imamah dalam mazhab Syiah.
Analisis Validitas Tafsir
Menurut Prof. Abd. Kholid, validitas tafsir ‘aqīdī dapat ditimbang dari tiga aspek utama: (1) hirarki penafsiran, (2) kesesuaian bahasa dan Ulūm al-Qur’an, dan (3) tidak bersifat truth claim sepihak.
- Hirarki Penafsiran
Al-Kāsyānī menafsirkan Al-Qur’an dengan metode al-Qur’an bi al-Qur’an dan al-Qur’an bi al-ḥadīth. Dalam Tafsīr al-Ṣāfī, ia banyak merujuk pada sumber-sumber hadis Syiah seperti al-Kāfī karya al-Kulainī dan Tafsīr al-Qummī. Dari perspektif epistemologi Syiah, metode ini valid, sebab bersandar pada riwayat para Imam Ma‘ṣūm yang diyakini maksum (terpelihara dari kesalahan). Namun, dari perspektif Ahlus Sunnah, validitas ini tidak diterima secara umum karena sanad hadis-hadis tersebut tidak memenuhi kriteria kesahihan dalam ilmu hadis Sunni.
- Kesesuaian dengan Kaidah Bahasa dan Ulūm al-Qur’an
Dari sisi bahasa, penafsiran al-Kāsyānī tetap mempertahankan makna asli ayat. Kata “walī” yang berarti teman, penolong, atau pemimpin, memang dapat dimaknai sebagai bentuk otoritas. Frasa “wa hum rāki‘ūn” juga sesuai secara literal, yaitu mereka yang rukuk dalam salat. Namun, tafsir ini kemudian memperluas makna linguistik menjadi makna historis dan teologis, bahwa rukuk tersebut terjadi pada peristiwa sedekah Ali. Dari sudut ilmu tafsir, pendekatan ini masih dapat diterima karena menggunakan asbāb al-nuzūl untuk memperkuat penjelasan. Akan tetapi, muatannya sangat ideologis, karena mengalihkan makna umum menjadi eksklusif kepada Ahlul Bait.
- Tidak Bersifat Truth Claim Sepihak
Tafsir al-Kāsyānī termasuk tafsir ‘aqīdī yang kuat dalam klaim kebenaran internal mazhabnya. Ia menafsirkan ayat ini sebagai dalil Imāmah Ali secara tegas. Meski begitu, ia tetap memberikan argumen rasional dan konteks historis yang bisa dikaji secara akademis. Dibanding tafsir Ahlus Sunnah (Ibn Kathīr, al-Ṭabarī, al-Qurṭubī) yang memaknai ayat secara umum sebagai loyalitas sosial antarmukmin, tafsir al-Kāsyānī lebih partikular dan ideologis, tapi tidak sepenuhnya tertutup terhadap dialog keilmuan.
Kritik terhadap Tafsir al-Kāsyānī
Penafsiran al-Kāsyānī memperlihatkan kecenderungan fanatis terhadap doktrin Imāmah, hingga menjadikan setiap ayat yang berkaitan dengan kepemimpinan selalu diarahkan kepada Ahlul Bait. Secara metodologis, tafsir ini sangat sistematis dan argumentatif, namun secara teologis menutup ruang interpretasi universal dari ayat tersebut.
Pendekatan seperti ini berisiko memisahkan pesan Al-Qur’an dari konteks umumnya, karena menjadikan loyalitas kepada Ahlul Bait sebagai satu-satunya makna sah dari konsep walāyah. Kritik ulama Sunni menyebut bahwa tafsir semacam ini lebih bersifat apologetik ketimbang eksposisi ilmiah terhadap makna ayat.
Kesimpulan
Tafsīr al-Ṣāfī karya al-Fayḍ al-Kāsyānī adalah tafsir penting dalam khazanah Syiah, terutama dalam menjelaskan konsep wilāyah dan Imāmah. Secara internal, tafsir ini valid dalam kerangka epistemologi Syiah karena berpijak pada hadis Ahlul Bait dan analisis bahasa yang konsisten. Namun, dari perspektif lintas mazhab, tafsir ini perlu dikritisi karena mengandung bias teologis dan kecenderungan eksklusif terhadap Ahlul Bait.
Meski demikian, karya ini tetap bernilai ilmiah sebagai representasi pemikiran tafsir Syiah yang sistematis sekaligus menjadi bahan refleksi bagi pembaca Muslim untuk melihat bagaimana ideologi dapat membentuk corak penafsiran terhadap wahyu.
Baca Juga: Sunni dan Syi’ah, Sekilas Latar Belakang dan Perbedaannya
Penulis: Wahyu Nur Oktavia
Editor: Muh. Sutan
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door