
Pemikiran Visioner Wahid Hasyim: Warisan bagi NU dan Dunia Islam
KH. Abdul Wahid Hasyim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914 – wafat di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia, ulama visioner, dan negarawan yang meletakkan fondasi penting bagi Republik Indonesia. Beliau adalah putra dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari, dan ayah dari Presiden ke-4 RI, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Lahir di lingkungan Pesantren Tebuireng yang kental dengan tradisi Islam klasik, Wahid Hasyim menunjukkan kecerdasan dan minat belajar yang luar biasa sejak kecil. Berbeda dengan santri pada umumnya, beliau tidak hanya mendalami kitab-kitab kuning. Secara otodidak, ia melahap berbagai buku pengetahuan umum, sastra, dan politik, serta menguasai bahasa Belanda dan Inggris. Perpaduan antara pendidikan agama yang kuat dan wawasan modern yang luas inilah yang membentuknya menjadi seorang pemikir yang unik: seorang santri tulen dengan cakrawala global.
Peran di Nahdlatul Ulama (NU)
Di usia yang sangat muda, Wahid Hasyim sudah menunjukkan kapasitas kepemimpinan. Pada usia 25 tahun, ia sudah terlibat aktif di kepengurusan Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (kini PBNU). Ia membawa angin segar reformasi dan modernisasi ke dalam tubuh NU. Visinya adalah agar NU dan kaum santri tidak hanya berkutat pada urusan keagamaan, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman, terutama dalam bidang pendidikan dan politik. Salah satu gagasannya yang paling revolusioner adalah memasukkan kurikulum pendidikan umum ke dalam sistem madrasah dan pesantren di lingkungan NU.
Arsitek Kemerdekaan Indonesia
Kontribusi terbesar Wahid Hasyim adalah perannya dalam proses perumusan dasar negara Indonesia. Sebagai anggota termuda Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Sembilan, ia berada di jantung perdebatan sengit mengenai ideologi negara. Puncaknya adalah ketika terjadi polemik mengenai “Piagam Jakarta,” khususnya frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Dengan jiwa kenegarawanan yang tinggi, Wahid Hasyim bersama tokoh Islam lainnya berlapang dada menyetujui penghapusan tujuh kata tersebut demi menjaga persatuan dan keutuhan bangsa yang majemuk. Keputusan ini menjadi kunci lahirnya Pancasila sebagai dasar negara yang inklusif dan diterima oleh semua golongan.
Menteri Agama dan Warisan Kebijakan
Setelah kemerdekaan, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Menteri Negara dalam kabinet pertama RI. Belakangan, ia menjabat sebagai Menteri Agama selama beberapa periode (1949-1952). Sebagai Menteri Agama, ia meletakkan dasar-dasar institusional yang fundamental:

Pertama, mendirikan Kementerian Agama sebagai lembaga yang tidak hanya mengurusi umat Islam, tetapi menjadi fasilitator bagi semua agama yang diakui negara. Kedua, memprakarsai pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang menjadi cikal bakal Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan kini tersebar sebagai Universitas Islam Negeri (UIN) di seluruh Indonesia. Ketiga, merumuskan kebijakan mengenai penyelenggaraan ibadah haji, pendidikan agama, dan urusan perkawinan serta peradilan agama.
Wafat dan Warisan Abadi
Pada 19 April 1953, dalam perjalanan menuju Sumedang untuk menghadiri rapat NU, mobil yang ditumpanginya mengalami kecelakaan di Cimahi. K.H. Abdul Wahid Hasyim wafat di usia yang sangat muda, 38 tahun. Meski hidupnya singkat, warisan pemikiran dan kebijakannya abadi. KH. Abdul Wahid Hasyim adalah bukti nyata bahwa menjadi seorang muslim yang taat dan seorang nasionalis sejati adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Di antara jajaran pahlawan nasional dan para pendiri bangsa, nama KH. Abdul Wahid Hasyim seringkali menjadi jembatan antara dua generasi pemikir besar: ayahnya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan putranya, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sang Presiden ke-4 RI. Namun, memposisikannya sekadar sebagai jembatan adalah sebuah penyederhanaan. Wahid Hasyim adalah seorang visioner, reformis, dan arsitek bangsa yang pemikiran serta kebijakannya terus berdenyut, memberikan sumbangsih nyata hingga hari ini bagi tiga lingkaran utama: Jam’iyah Nahdlatul Ulama, Bangsa Indonesia, dan Masyarakat Dunia.
Meski wafat di usia relatif muda, warisan intelektual dan kelembagaan yang ia tinggalkan terbukti abadi. Berikut adalah relevansi dan sumbangsih pemikirannya yang masih kita rasakan saat ini.
- Bagi Warga Nahdlatul Ulama (NU), Wahid Hasyim adalah Penggerak Modernisasi dari Dalam.
Ia sadar bahwa untuk menghadapi tantangan zaman, kaum santri tidak cukup hanya menguasai ilmu agama klasik. Pemikirannya melahirkan terobosan fundamental yang membentuk wajah NU modern. Dalam hal modernisasi pendidikan pesantren, Wahid Hasyim adalah penggagas utama masuknya kurikulum pengetahuan umum (matematika, geografi, bahasa Indonesia) ke dalam sistem pendidikan pesantren. Visinya adalah melahirkan “santri plus”—seorang yang alim dalam ilmu agama, sekaligus cakap dalam ilmu pengetahuan modern. Hasilnya kita saksikan hari ini: jutaan alumni pesantren NU mampu berkiprah di berbagai sektor profesional, dari birokrasi, teknologi, hingga bisnis, tanpa kehilangan identitas keagamaannya.
Selain itu, peran lain dalam Pelembagaan Pendidikan Tinggi Islam, inisiasi Wahid Hasyim mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan kini Universitas Islam Negeri (UIN) adalah warisan monumental. Lembaga ini menjadi kawah candradimuka bagi lahirnya intelektual-intelektual Muslim yang memadukan tradisi keislaman dengan metodologi modern. Bagi warga NU, UIN adalah jalur eskalasi sosial dan intelektual yang paling aksesibel.
Di samping itu, Wahid Hasyim juga mampu meneguhkan ideologi Islam kebangsaan. Wahid Hasyim secara brilian merumuskan bahwa menjadi seorang muslim yang taat dan menjadi seorang nasionalis Indonesia bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling menguatkan. Konsep “nasionalisme religius” ini menjadi DNA ideologis NU. Hal ini memberikan landasan teologis yang kokoh bagi warga NU untuk mencintai tanah air sebagai bagian dari iman (hubbul wathan minal iman), sebuah prinsip yang terus relevan dalam menjaga keutuhan NKRI.
- Bagi Bangsa Indonesia: Kontribusi Wahid Hasyim Bersifat Fundamental
Ia adalah salah satu arsitek utama yang meletakkan dasar bagi rumah besar bernama Indonesia. Peran sentralnya dalam Panitia Sembilan (BPUPKI) tidak dapat diabaikan. Ketika terjadi perdebatan sengit mengenai “Piagam Jakarta”, khususnya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh kunci dari kalangan Islam yang berlapang dada untuk menghapusnya demi persatuan nasional. Keputusannya yang visioner ini memastikan Pancasila menjadi dasar negara yang inklusif dan diterima oleh semua golongan. Tanpa kompromi ini, wajah Indonesia mungkin akan sangat berbeda hari ini. Setiap warga negara Indonesia, apapun agamanya, berutang budi pada kearifan beliau.
Selain itu, sebagai Menteri Agama pertama dan beberapa periode sesudahnya, Wahid Hasyim tidak merancang kementerian ini hanya untuk umat Islam. Ia meletakkan fondasi Kementerian Agama sebagai fasilitator bagi semua agama yang diakui negara. Institusi ini, hingga kini, berperan dalam mengelola kehidupan beragama, mulai dari pendidikan, haji, pernikahan, hingga dialog antar-umat beragama. Ini adalah manifestasi dari visinya tentang negara yang melindungi dan melayani seluruh pemeluk agama.
Pemikirannya tentang hubungan Islam dan negara menjadi cetak biru bagi harmoni di Indonesia. Ia menolak ide negara teokrasi (berbasis satu agama) maupun negara sekuler (yang memisahkan total agama dari publik). Model “negara Pancasila” yang religius namun tidak teokratis adalah jalan tengah yang jenius, dan Wahid Hasyim adalah salah satu perumusnya.
- Bagi Masyarakat Dunia: Wahid Hasyim Menjadi Wajah Islam Moderat
Di panggung global yang seringkali diwarnai oleh citra Islam yang ekstrem dan penuh konflik, pemikiran Wahid Hasyim dan model keindonesiaan yang ia bantu bangun menawarkan alternatif yang kuat dan relevan.
Indonesia adalah bukti nyata bahwa populasi muslim terbesar di dunia dapat hidup harmonis dalam sebuah negara demokrasi yang plural. Pondasi kompromistis yang diletakkan oleh Wahid Hasyim dan para pendiri bangsa lainnya menjadi studi kasus penting bagi negara-negara Muslim lain yang sedang berjuang mencari titik temu antara identitas agama dan tatanan negara modern.
Gagasan “Islam Kebangsaan” atau Islam yang ramah pada budaya lokal dan nasionalisme adalah antitesis dari ideologi transnasional radikal yang ingin menghapus batas-batas negara. Di tengah gelombang ekstremisme global, pemikiran Wahid Hasyim menjadi sumber inspirasi bagi narasi Islam moderat (wasathiyah) yang damai, toleran, dan konstruktif.
Model Indonesia dalam mengelola hubungan antara agama dan negara—yang di dalamnya Wahid Hasyim berperan besar—menawarkan cetak biru bagi dunia. Ini adalah model jalan tengah di mana negara tidak memusuhi agama, tetapi juga tidak didikte oleh satu interpretasi agama. Negara hadir sebagai pengayom semua keyakinan, sebuah konsep yang sangat relevan di dunia yang semakin terpolarisasi.
Kesimpulan: Kompas yang Hidup
KH. Abdul Wahid Hasyim lebih dari sekadar tokoh sejarah. Ia adalah seorang pemikir yang visinya melampaui zamannya. Bagi NU, ia adalah modernisator. Bagi Indonesia, ia adalah pemersatu. Bagi dunia, ia adalah penjelas wajah Islam yang ramah dan damai.
Di tengah tantangan modernitas, polarisasi politik, dan ancaman radikalisme, pemikiran dan kebijakan Wahid Hasyim bukanlah sekadar kenangan masa lalu. Ia adalah kompas yang hidup, yang terus memberikan arah bagi NU untuk tetap relevan, bagi Indonesia untuk tetap utuh, dan bagi dunia untuk melihat secercah harapan dari Islam Nusantara. Warisannya abadi karena denyut nadinya masih terasa hingga detik ini.
Baca Juga: KH. A. Wahid Hasyim, Pelopor Pendidikan Kurikulum Modern di Pesantren
Penulis: Achmad Muzayyin, Pengajar Pendidikan Diniyah Sekolah Dasar di Jombang dan anggota GP Ansor Jombang.
Editor: Muh Sutan
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime