
Perjalanan Kerelaan Orang Tua Memondokkan Anak
Keputusan untuk memondokkan anak bukanlah pilihan ringan bagi sebagian orang tua. Ada pergolakan batin, kekhawatiran, dan berbagai pertimbangan yang menyertai proses itu. Di satu sisi, orang tua ingin memberikan pendidikan terbaik yang tidak hanya mendewasakan intelektual anak, tetapi juga membentuk karakter dan spiritualitasnya. Di sisi lain, melepaskan anak dari pengawasan langsung dan menitipkannya pada sistem pendidikan berasrama seperti pesantren membutuhkan kerelaan yang dalam dan kesiapan mental yang utuh.
Banyak orang tua yang melalui proses ini dengan dialog batin yang panjang. Mereka harus meneguhkan hati bahwa memondokkan anak bukan berarti menyerahkan sepenuhnya pengasuhan, melainkan memperluas ruang tumbuh anak melalui komunitas yang lebih terarah dan bernuansa nilai-nilai agama. Di awal, mungkin anak menolak. Rasa takut akan lingkungan baru, kehilangan kebebasan, dan kerinduan pada rumah adalah hal yang wajar dirasakan anak-anak. Di sinilah peran orang tua menjadi sangat penting, yakni sebagai penuntun yang sabar dan penyampai harapan yang jernih.
Baca Juga: Menjadi Santri adalah Privilege Bukan Keterbatasan
Orang tua yang bijak tidak memaksa, tetapi meyakinkan. Mereka mendekati anak bukan dengan perintah, melainkan dengan pelukan dan percakapan yang memanusiakan. Anak diajak memahami bahwa pondok pesantren bukan tempat yang membatasi, tetapi justru membebaskan, artinya membebaskan pikiran dari kebodohan, membebaskan jiwa dari kegersangan spiritual, dan membebaskan hati dari nilai-nilai yang membelenggu. Mereka menanamkan bahwa menjadi santri bukan sekadar menuntut ilmu agama, tetapi juga membentuk mental tangguh dan mandiri yang kelak akan menjadi bekal utama dalam menghadapi kehidupan.
Pemilihan pesantren pun tidak dilakukan asal-asalan. Orang tua mencermati reputasi pesantren, pendekatan pendidikannya, keseimbangan antara ilmu agama dan umum, serta kondisi psikologis anak. Tidak semua anak cocok di pesantren yang sangat ketat dan formalistik; sebagian anak memerlukan pendekatan yang lebih ramah, dialogis, dan menyenangkan. Oleh karena itu, banyak orang tua yang melibatkan anak dalam proses memilih pesantren, menunjukkan foto-foto, memperkenalkan profil pengasuhnya, dan bahkan mengajak anak untuk berkunjung langsung agar ia merasakan suasana sebelum benar-benar memulai kehidupan pondok.

Dalam proses ini, orang tua tidak hanya fokus pada aspek disiplin dan ibadah, tetapi juga kesehatan mental anak. Mereka tetap menjaga komunikasi dengan anak, menghubungi secara berkala, mengunjungi saat dibolehkan, dan yang terpenting: menjadi pendengar yang tidak menghakimi. Mereka menanyakan bukan hanya prestasi, tetapi juga perasaan anak, apakah ia merasa nyaman, apa yang ia rasakan tentang teman sekamar, ustaz, atau rutinitas harian. Sebab, pendidikan tidak akan bermakna bila mental anak terabaikan.
Menjelaskan Sinergi Pendidikan Pesantren dan Sekolah Formal
Salah satu tantangan yang dihadapi orang tua dalam memondokkan anak adalah meyakinkan bahwa pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga arena untuk pendidikan formal yang kuat. Banyak pesantren modern kini mengintegrasikan kurikulum nasional dengan kurikulum keagamaan. Anak-anak belajar matematika dan fiqih dalam satu hari, membaca novel bahasa Inggris di sela hafalan Al-Qur’an, dan berdiskusi tentang sejarah dunia sambil memperdalam tafsir Al-Qur’an. Ini bukan sekadar pendidikan ganda, tetapi penguatan karakter dari dua sisi penting: intelektual dan spiritual.
Baca Juga: Antara Pendidikan Agama dan Kesehatan Mental Anak
Orang tua memainkan peran penting dalam menjelaskan konsep ini kepada anak. Mereka menanamkan bahwa menjadi santri bukan berarti terputus dari dunia luar. Justru, menjadi santri berarti memiliki bekal lebih untuk mengarungi zaman. Santri bisa menjadi dokter, insinyur, pebisnis, bahkan pejabat publik, namun dengan nilai-nilai luhur yang tidak mudah goyah. Dalam dialog harian, orang tua membangun narasi bahwa hidup di pesantren itu seru—ada kegiatan keorganisasian, keterampilan hidup, olahraga, dan kebersamaan yang tidak mudah ditemukan di sekolah biasa.
Tak jarang, orang tua menceritakan kisah inspiratif dari tokoh-tokoh besar yang berlatar belakang pesantren: ulama, intelektual, pemimpin bangsa. Mereka membentuk imajinasi positif dalam diri anak, bahwa mondok bukanlah jalan sunyi, tetapi jalan mulia yang penuh cahaya. Orang tua tidak hanya menjadi penyampai pesan, tapi juga teladan dalam menghargai ilmu, disiplin, dan kesederhanaan. Mereka sendiri menunjukkan bahwa memilih pesantren adalah bentuk cinta dan kepercayaan kepada masa depan anak.
Dalam fase awal mondok, banyak anak yang mengalami homesick, merasa kesepian, atau bahkan ingin pulang. Di sinilah cinta dan kesabaran orang tua diuji. Mereka tidak langsung menjemput, tetapi mendampingi dengan empati. Mereka menyampaikan bahwa semua orang hebat pernah melalui proses sulit dalam belajar. Mereka menguatkan bahwa kesulitan bukan musuh, melainkan guru. Dan bahwa pesantren bukan tempat asing, melainkan rumah kedua yang akan membentuknya menjadi pribadi yang kuat, cerdas, dan berakhlak.
Baca Juga: Model Pendidikan Pesantren Menjawab Tantangan Perubahan
Kesungguhan orang tua dalam proses ini, mulai dari pemilihan pondok, mendidik anak agar siap mental, hingga menjaga kedekatan emosional saat anak mondok, adalah bentuk tanggung jawab sekaligus cinta sejati. Mereka tidak menyerahkan anak begitu saja, tetapi tetap menjadi bagian dari pertumbuhannya, yaitu dengan memberi ruang untuk mandiri, namun tetap hadir saat dibutuhkan. Pesantren bukan tempat berpisah, tetapi ruang bertumbuh bersama antara anak dan orang tua, dengan cara yang lebih dalam dan bermakna.
Penulis: Ummu Masrurah, Santri Annuqayah.
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime