
Kandungan Surah Al-Ikhlas; Inti Ajaran Tauhid dalam Al-Quran
Surah Al-Ikhlas; Empat ayat yang singkat, menjadi bacaan surah paling favorit ketika shalat. Namun, mampu memberikan kandungan yang sangat mendalam sehingga menjadi pondasi akidah islam. Mengarungi gelombang hidup yang tak menentu, seringkali kita manaruh harap dan sandaran tempat untuk bergantung, tapi adakah tempat sangat layak untuk menjadi sandaran? Maka surah Al-Ikhlas yang akan menjawab dengan kandungan makna yang menjadi inti tauhid dalam al-Quran. Tidak hanya membahas tentang definisi siapa Tuhan dalam Islam, tetapi juga memberikan pemahaman logis yang mampu meruntuhkan segala bentuk penyimpangan dalam konsep ketuhanan, dan menuntun hati kita agar hanya bergantung kepada Allah SWT.
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari no. 6643 dan Imam Muslim no. 811, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya surat ‘Qul Huwallahu Ahad’ menyamai sepertiga Al-Qur’an.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa kedudukan surah Al-Ikhlas sangat istimewa di dalam Al-Quran. Imam Al-Nawawi menjelaskan bahwa konsep dari ‘sepertiga’ tidak membahas jumlah ayat ataupun lafadz, melainkan kandungan pokok ajaran islam dalam al-Quran secara garis besar mencakup tiga tema utama; tauhid (keimanan), syari’at (hukum) dan qashash (kisah-kisah). Secara garis besar, surat Al-Ikhlas mengandung ajaran tauhid.
Kandungan ayat pertama:

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad) Dialah Allah, Yang Maha Esa.”
Menurut Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir Al-Kabir, kata ‘Ahad’ mengandung makna keesaan yang sempurna, tidak bisa dibagi dan tidak terbagi-bagi serta tidak memiliki sekutu. Berbeda dengan ‘wahid’ yang numerik dan bisa dibagi. Hal ini memberikan penegasan dan pemahaman tentang tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah yakni hanya Allah satu-satunya Tuhan yang disembah dan hanya Allah yang memiliki, menciptakan dan mengatur segala hal yang ada dalam semesta. Ayat ini mengandung konsep tauhid yaitu menolak segala macam bentuk syirik, baik itu syirik dalam ibadah, syirik dalam sifat maupun syirik dalam penciptaan.
Kandungan ayat kedua:
ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ
Artinya: “Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu.”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan kata ‘As-Samad’ yang hanya muncul satu kali dalam al-Quran dimaknai sebagai Dzat Yang Maha Sempurna dalam semua sifat-Nya dan tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya, sedangkan seluruh makhluk sangat membutuhkan-Nya. Ini mengajarkan ketundukan total kepada kekuasaan Allah. Dari ayat ini kitab bisa belajar melatih hati bahwa letak berharap dan bersandar hanyalah kepada Allah SWT bukan kepada makhluk yang menjadi sumber kecewa. Jangan pernah berangggapan bahwa Allah membutuhkan kita untuk disembah, karena Allah tidak membutuhkan ibadah dari makhluk-Nya. Allah SWT tidak bergantung kepada siapapun, baik dengan atau tanpa penyembahan dari makhluk-Nya. Allah tidak dirugikan oleh kekufuran dan tidak memperoleh manfaat dari penyembahan. Ibadah bukanlah sebuah kebutuhan Allah SWT tetapi kebutuhan makhluk itu sendiri untuk menemukan makna kehidupan, petunjuk, dan keselamatan.
Kandungan ayat ketiga:
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
Artinya: “Dia (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”
Ayat ini adalah penegasan dan bantahan terhadap keyakinan yang berasumsi bahwa Tuhan mempunyai keturunan. Seperti doktrin Trinitas dalam agama Kristen yang meyakini bahwa Yesus sebagai ‘Anak Allah’. Secara tegas konsep ini ditolak dalam agama Islam, karena mengasumsikan Allah memiliki hubungan biologis atau keturunan. Dalam Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Muassasah Ar-Risalah, Juz 20 bahwasanya Allah tidak beranak, karena tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada kebutuhan bagi-Nya untuk mempunyai keturunan. Dan Allah tidak dilahirkan karena jika Dia berasal dari sesuatu sebelumnya, berarti Dia bukan Tuhan yang awal dan abadi. Hal ini sangat jelas bertentangan dengan sifat-Nya yang Maha Suci dan Maha Kekal.
Kandungan ayat keempat:
وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌ
Artinya: “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.”
Ayat ini mengajarkan kepada kita tentang Tauhid Asma’ wa Sifat yakni meyakini bahwa Allah SWT berbeda dari makhluk-Nya. Tidak ada satupun makhluk yang bisa setara dengan-Nya. Juga meyakini bahwa Allah SWT memiliki nama-nama dan sifat kesempurnaan secara mutlak. Dengan tegas ayat ini menjadi pokok penting dalam membangun akidah. Agar kita dapat menjauhi dan menolak pemahaman yang menyerupakan Allah dengan makhluk (tasybih) atau mengingkari sifat-sifat-Nya (ta’thil). Tafsir Ibn Sa’di menyatakan bahwa Dia tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya baik dalam nama, sifat maupun perbuatan.
Dari penjabaran keempat ayat tersebut, memetik kesimpulan bahwa Surah Al-Ikhlas meski di dalam ayat tersebut tidak ada kata ‘ikhlas’ namun mampu memberikan makna yang sangat mendalam. Ini mengajarkan kepada kita makna keikhlasan yang hakiki dalam menyembah Sang Pencipta. Dan surah ini juga memberikan pemahaman kepada kita bahwa hanya Allahlah yang mutlak menjadi tempat kita berharap serta dapat mempertebal keimanan dan meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang layak disembah kecuali Allah SWT. Dengan memahami kandungan dari surah ini, kita diajak untuk menyucikan pemahaman yang menyimpang terhadap penyekutuan dan penyerupaan terhadap Allah SWT. Surah Al-Ikhlas bukan hanya sekedar bacaan favorit dalam shalat, tetapi juga menjadi inti dalam ilmu ketauhidan dan Ikhlas dalam penghambaan kepada Allah SWT.
Baca Juga: Gus Dur: Nilai Tauhid dan Kemaslahatan di Muka Bumi
Penulis: Nabila Rahayu
Editor: Muh Sutan
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime