Hadiah Tabungan di Bank Syariah: Antara Hibah Sukarela dan Riba Terselubung
6 mins read

Hadiah Tabungan di Bank Syariah: Antara Hibah Sukarela dan Riba Terselubung


Ilustrasi bank

Dalam beberapa dekade terakhir, industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, baik dari sisi aset, nasabah, maupun pengaruhnya dalam wacana ekonomi global. Salah satu tantangan utama yang terus mengemuka adalah bagaimana menjaga integritas prinsip-prinsip syariah dalam praktik-praktik bisnis yang kerap menuntut inovasi dan daya saing. Di antara isu yang menjadi sorotan para ulama, ekonom, dan praktisi keuangan syariah adalah soal pemberian hadiah atau insentif kepada nasabah tabungan, khususnya yang bersifat wadiah atau yang dalam praktiknya mengambil bentuk qardh.

Isu ini tampaknya sederhana di permukaan, namun sesungguhnya menyimpan persoalan fikih yang cukup kompleks. Pada intinya, bank syariah tentu membutuhkan strategi untuk menarik dana dari masyarakat. Menabung di bank adalah bagian penting dalam mendorong stabilitas sistem keuangan dan menumbuhkan inklusi ekonomi. Maka, tidak mengherankan apabila sejumlah bank syariah menawarkan hadiah, baik dalam bentuk uang tunai, barang, maupun undian berhadiah, kepada para nasabah yang menabung. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah hadiah-hadiah ini dibolehkan dalam hukum Islam? Apakah pemberian insentif tersebut tidak tergelincir ke dalam praktik riba terselubung?

Untuk menjawabnya, kita harus kembali kepada struktur fikih dari hubungan antara nasabah dan bank dalam produk tabungan syariah. Dalam banyak literatur fikih dan juga fatwa-fatwa kontemporer, dijelaskan bahwa dana tabungan yang diberikan oleh nasabah kepada bank, meskipun sering disebut sebagai “titipan”, sebenarnya tidak memenuhi definisi wadiah secara utuh. Dalam praktiknya, nasabah mengizinkan bank untuk menggunakan dana tersebut, dan bank pun menjamin akan mengembalikannya, meski bukan dalam bentuk yang sama (’ain) tetapi dalam nilai yang setara. Maka secara hukum, transaksi ini lebih tepat dikategorikan sebagai qardh, yakni pinjaman. Hal ini ditegaskan dalam Fatwa No. 18 Dewan Pengawas Syariah Bank Faisal Islami Sudan, yang menyatakan:

بما أن أصحاب الودائع أذنوا للبنك في التصرف في ودائعهم، وضمن البنك ردها إليهم، فإنها تأخذ حكم القرض، ولا يجوز اشتراط منفعة للمقرض.

Artinya: “Karena para pemilik deposito telah memberikan izin kepada bank untuk menggunakan dana mereka, dan bank menjamin pengembaliannya, maka deposito ini dihukumi sebagai pinjaman. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menetapkan manfaat bagi pemberi pinjaman (nasabah).”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dengan demikian, secara prinsip, tidak boleh ada manfaat yang dijanjikan kepada pemberi pinjaman (nasabah) karena hal itu termasuk dalam kategori riba al-qardh, yaitu riba yang timbul karena pinjaman yang disertai syarat adanya keuntungan. Dalam kaidah fikih disebutkan secara tegas: كل قرض جر منفعة فهو ربا “Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba.” Maka jika bank memberikan insentif atau hadiah kepada nasabah atas dasar tabungan yang sebenarnya adalah pinjaman, dan hadiah itu menjadi syarat eksplisit atau implisit dalam akad atau promosi, maka hal itu tidak diperbolehkan.

Namun, para ulama kontemporer juga tidak menutup pintu bagi ijtihad yang mempertimbangkan realitas kebutuhan dan maslahat. Dalam Fatwa No. 168 dari Kuwait Finance House, disebutkan bahwa bank diperbolehkan memberikan hadiah atau insentif kepada nasabah tabungan selama hal itu dilakukan tanpa janji di awal, tidak bersifat tetap atau rutin, dan bukan sebagai syarat dalam akad. Disebutkan dalam teks fatwa:

يجوز له أن يمنح أصحاب الودائع حوافز متفاوتة من مرة إلى أخرى.

“Bank diperbolehkan memberikan insentif kepada pemilik deposito dalam jumlah yang bervariasi dari waktu ke waktu.” (Sumber: Fatwa-fatwa Syariah dari Kuwait Finance House, Jilid 2, hlm. 99)

Lebih lanjut, hal ini didasarkan pada pandangan sebagian fuqaha yang memperbolehkan bank menggunakan dana tabungan sebagai modal usaha, dan karena keuntungan dari usaha itu menjadi milik bank, maka bank bebas mengalokasikan sebagian keuntungannya kepada siapa pun, termasuk kepada nasabah penabung, selama tidak ada kesepakatan di awal. Pandangan ini mengacu pada teks klasik dalam Hasyiyah Mawahib al-Jalil, di mana disebutkan:

 وأجاز بعض الفقهاء الاتجار بالوديعة والربح للمودع البنك

(Lihat: Hasyiyah Mawahib al-Jalil, Jilid 5, hlm. 255)

Dari sisi ini, hadiah yang diberikan bank kepada nasabah tabungan tidaklah menjadi kompensasi atas pinjaman, melainkan hibah murni yang bersifat sukarela dari bank sebagai bentuk apresiasi, dan bukan kewajiban. Tetapi batasannya sangat jelas: hadiah itu tidak boleh dijanjikan, tidak boleh menjadi motivasi utama menabung, dan tidak boleh dilakukan dengan cara yang mengaburkan posisi hukumnya.

Refleksi terhadap kondisi di Indonesia menjadi relevan dalam konteks ini. Praktik pemberian hadiah oleh bank syariah di tanah air sudah jamak ditemukan dalam berbagai bentuk promosi: mulai dari undian berhadiah umrah, tabungan berhadiah langsung, hingga bonus saldo akhir tahun. Dari perspektif marketing, ini tentu sah dan efektif. Tetapi dari sisi syariah, banyak dari strategi ini perlu ditinjau ulang karena tidak sedikit yang dilakukan secara masif, rutin, dan menjadi alat persuasi utama. Hal ini berisiko mengubah niat transaksi dari niat amanah atau niat ibadah menjadi niat mendapatkan keuntungan finansial, yang dalam batas tertentu bisa melahirkan bentuk riba khafiyy (riba yang tersembunyi).

Oleh karena itu, bank syariah di Indonesia dan negara-negara lain yang menjalankan sistem ekonomi Islam dituntut untuk lebih hati-hati dan transparan dalam mengelola strategi penghimpunan dana. Jika hadiah ingin diberikan, maka sebaiknya dilakukan secara insidental, tidak diiklankan secara agresif, dan murni berasal dari kebijakan bank, tanpa skema yang membuatnya tampak sebagai “imbal hasil” atas simpanan.

Lebih dari itu, edukasi kepada masyarakat tentang struktur akad dan prinsip-prinsip dasar muamalat syariah menjadi kunci penting. Banyak nasabah yang belum memahami bahwa akad tabungan di bank syariah bukanlah akad yang sama dengan deposito di bank konvensional. Maka, transparansi dalam akad, pemahaman tentang tujuan syariah (maqashid syariah), serta pengawasan ketat dari Dewan Pengawas Syariah menjadi instrumen utama untuk memastikan bahwa bank syariah benar-benar berjalan di atas rel yang benar.

Pada akhirnya, dilema antara kepatuhan syariah dan tuntutan kompetisi pasar adalah hal yang tidak dapat dihindari. Namun demikian, bukan berarti syariah harus dikompromikan. Sebaliknya, tantangan ini justru harus dijawab dengan kreativitas dan ijtihad yang cermat — bukan hanya kreatif dari sisi bisnis, tetapi juga jeli dalam melihat ruang-ruang kebolehan dalam syariat tanpa melanggar batas. Hanya dengan cara itu, perbankan syariah akan terus tumbuh, dipercaya, dan tetap konsisten sebagai alternatif keuangan yang tidak hanya halal secara formal, tetapi juga adil, beretika, dan membawa keberkahan.

Baca Juga: Hukum Jual-Beli Kredit Menurut Islam


Penulis: Abil Qasim

Editor: M. Sutan


News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door