Anak Kecil di Masjid: Mengganggu atau Bagian Pendidikan Iman?
Masjid dalam pandangan Islam bukan sekadar tempat sujud dan melaksanakan ritual ibadah, melainkan juga pusat pembinaan umat. Sejak masa Rasulullah, masjid telah menjadi ruang kehidupan sosial dan spiritual: tempat shalat, majelis ilmu, penguatan ukhuwah, bahkan pusat peradaban. Oleh karena itu, mendidik anak untuk mencintai masjid merupakan bagian dari upaya menumbuhkan kesadaran keislaman sejak dini. Tidak sedikit orang tua yang dengan niat mulia membawa anak-anak mereka ke masjid. Mereka berharap sang buah hati tumbuh akrab dengan suasana ibadah, mengenal suara azan, melihat gerakan shalat, dan perlahan meniru kebiasaan orang-orang saleh.
Dalam perspektif pendidikan Islam, hal ini sejalan dengan prinsip al-ta’līm bi al-qudwah belajar melalui keteladanan dan pembiasaan. Ibn Hajar al-Asqallani dalam kitabnya menjelaskan bahwa Al-Jalandi berkata: “Telah menunjukkanku nabi yang ummi ini bahwa beliau tidak pernah memerintahkan suatu kebaikan melainkan beliau menjadi orang pertama yang melaksanakannya, dan tidak pula melarang suatu keburukan melainkan beliau menjadi orang pertama yang meninggalkannya.[1] Bahkan nabi juga pernah membawa cucunya Hasan dan Husain pergi ke masjid, hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa ia berkata, “Kami pernah salat Isya bersama Nabi. Ketika beliau sujud, Hasan dan Husain melompat ke atas punggung beliau. Setiap kali beliau mengangkat kepala, beliau menurunkan keduanya dengan lembut dan meletakkan mereka di tanah. Namun setiap kali beliau sujud lagi, keduanya kembali naik ke punggung beliau, hingga salat selesai. Setelah itu, beliau memangku salah satu dari mereka di atas pahanya.”
Kisah ini memperlihatkan bahwa masjid pada masa Rasulullah bukan hanya tempat ibadah semata, tetapi juga ruang pendidikan dan pembiasaan bagi anak-anak untuk tumbuh dalam suasana spiritual. al-Sakhawi memberikan komentar tentang hadis ini dengan mengatakan, “Wa fīhi jawāzu idkhāli al-shibyān ilal-masājid,” yang artinya: “Dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya membawa anak-anak ke masjid.”[2] Dengan demikian, kehadiran anak-anak di masjid tidak sepatutnya dianggap mengganggu selama mereka diarahkan dengan baik. Sebaliknya, hal itu justru menjadi bagian dari proses pendidikan iman dan pembentukan karakter yang meneladani kasih sayang Rasulullah terhadap generasi muda umatnya. Maka dengan begitu, anak akan mencintai apa yang sering ia lihat dan alami, terlebih jika yang mencontohkan itu adalah orang tua nya sendiri dengan membawanya ke masjid. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya bahkan menganjurkan agar orang tua membiasakan anaknya untuk dibawa ke masjid, dalam karyanya Nihayah al-Zain, beliau berkata:
ويؤمر الصبي بحضور المساجد وجماعات الصلاة ليعتادها وهذا في غير الأمرد الجميل أما هو فحكمه حكم المرأة
Anak kecil dianjurkan untuk diperintahkan menghadiri masjid dan salat berjamaah agar ia terbiasa melakukannya. Namun ketentuan ini tidak berlaku bagi anak laki-laki yang berwajah tampan (al-amrad al-jamīl), karena anak seperti itu hukumnya disamakan dengan perempuan[3]

Pandangan Syekh Nawawi al-Bantani di atas menunjukkan sebuah pandangan progresif dalam pendidikan anak. Syekh Nawawi menegaskan bahwa anak-anak sudah seharusnya dilibatkan dalam suasana ibadah sedini mungkin, agar mereka tumbuh dengan kecintaan terhadap masjid dan kebersamaan dalam jamaah. Ini merupakan penerapan prinsip at-ta’dīb wa at-ta‘līm bil ‘ādah mendidik anak melalui kebiasaan dan keteladanan. Dengan kehadiran di masjid, anak tidak hanya belajar tata cara salat, tetapi juga nilai-nilai disiplin, kebersamaan, dan penghormatan terhadap tempat suci. Pandangan Syekh Nawawi al-Bantani ini sejalan dengan prinsip habituasi dalam ilmu psikologi yaitu pembiasaan sistem nilai budaya yang berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman untuk menanamkan kedisiplinan seseorang, yang harus dimulai sejak kanak-kanak melalui jalur pendidikan informal di dalam keluarga dan masyarakat serta pendidikan formal.[4]
Namun, realitas di lapangan tidak selalu berjalan ideal. Kehadiran anak kecil di masjid sering kali menimbulkan dilema. Di satu sisi, membawa mereka merupakan bagian dari pendidikan ruhani yang sangat dianjurkan. Akan tetapi, di sisi lain, anak-anak memiliki potensi alami untuk bergerak, berbicara, dan bermain, yang kadang menimbulkan kegaduhan dan mengganggu kekhusyukan jamaah. Tidak jarang muncul reaksi negatif dari sebagian jamaah dewasa, bahkan ada yang secara tegas melarang anak-anak masuk masjid dengan alasan menjaga ketertiban ibadah.
Persoalan ini kemudian memunculkan pertanyaan mendasar: apakah membawa anak kecil ke masjid diperbolehkan dalam syariat? Apakah potensi gangguan dari anak-anak dapat menjadi alasan untuk melarang mereka hadir di rumah Allah? Dan bagaimana pula para fuqaha serta pendidik muslim klasik memandang hal ini? Tulisan ini berupaya mengurai permasalahan tersebut secara komprehensif melalui pendekatan fikih dan pendidikan Islam, dengan meninjau dalil-dalil nash, pandangan ulama, serta konteks sosial masyarakat modern. Diharapkan, pembahasan ini dapat menghadirkan pemahaman yang seimbang antara tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak mencintai masjid dan kewajiban menjaga adab serta kehormatan tempat ibadah sebagaimana dikehendaki oleh syariat.
Pandangan Ulama Fikih tentang Membawa Anak di Masjid
Dalam kajian fikih, para ulama memang memiliki perbedaan pandangan terkait kebolehan membawa anak kecil ke masjid. Sebagian ulama memperbolehkannya secara mutlak dengan berdalil pada sejumlah hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah sendiri pernah membawa anak kecil ke masjid, Hal ini dipahami sebagai bentuk toleransi dan pendidikan agar anak-anak sejak dini terbiasa berada di lingkungan ibadah serta menumbuhkan kecintaan terhadap masjid. Sementara sebagian ulama lain memberikan ketentuan yang lebih spesifik dengan membedakan antara anak yang sudah tamyiz (mampu membedakan baik dan buruk, serta dapat menjaga kebersihan dan ketertiban) dan anak yang belum tamyiz. Menurut pandangan ini, anak yang sudah tamyiz boleh dibawa ke masjid, terutama dalam rangka pembelajaran (ta‘līm) dan pembiasaan ibadah. Namun, anak yang belum tamyiz sebaiknya tidak dibawa ke masjid karena dikhawatirkan akan mengotori tempat ibadah, menimbulkan keributan, atau mengganggu kekhusyukan jamaah lain. Di antara yang berpendapat demikian Adalah Khatib al-Syirbini dalam kitabnya Muqhni al-Muhtaj, beliau menyatakan
خاتمة: في أحكام المسجد يحرم تمكين الصبيان غير المميزين والمجانين، والبهائم، والحيض، ونحوهن، والسكران من دخوله إن غلب تنجيسهم له، وإلا كره كما يعلم مما سيأتي إن شاء الله
Penutup: Dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan masjid, haram hukumnya membiarkan anak-anak yang belum tamyiz (belum bisa membedakan baik dan buruk), orang gila, hewan, perempuan yang sedang haid, dan orang mabuk masuk ke dalam masjid apabila dikhawatirkan mereka akan menajiskannya. Namun, jika tidak ada kekhawatiran demikian, maka hukumnya makruh (tidak disukai), sebagaimana akan dijelaskan kemudian insya Allah.[5]
Pandangan Khatib al-Syirbini yang melarang memasukkan anak kecil yang belum tamyiz ke dalam masjid juga sejalan dengan sejumlah ulama lain yang memberikan argumentasi rasional atas larangan tersebut. Di antara mereka adalah Syekh Zakariya al-Anshari, yang dalam penjelasannya mengutip pandangan Walid al-Nasyiri. Menurut al-Nasyiri, tidak ada manfaat yang dapat diperoleh dari membawa anak kecil yang belum mencapai fase tamyiz ke masjid, karena pada tahap perkembangan tersebut mereka belum memiliki kemampuan untuk memahami nilai-nilai ibadah maupun adab di tempat suci.[6] Dengan demikian, tujuan pendidikan melalui pembiasaan beribadah di masjid tidak akan tercapai. Sebaliknya, risiko yang muncul justru lebih besar yakni potensi mengotori masjid, menimbulkan kegaduhan, serta mengganggu kekhusyukan jamaah dalam beribadah. Pandangan ini menegaskan bahwa menjaga kesucian dan ketertiban masjid menjadi prioritas yang harus didahulukan dibandingkan niat mendidik anak yang belum siap secara kognitif dan emosional.
Di sisi lain, pandangan Khatib al-Syirbini juga diperkuat oleh pendapat Ibn Hajar al-Haitami yang memberikan penjelasan lebih komprehensif mengenai hukum membawa anak kecil ke masjid. Menurut beliau, mengajarkan anak-anak membaca Al-Qur’an di masjid merupakan perbuatan baik yang patut dilestarikan karena menjadi bagian dari pendidikan dini dalam membentuk kecintaan terhadap al-Quran dan tempat ibadah. Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi anak-anak yang sudah mencapai usia tamyiz, yakni usia di mana mereka telah mampu membedakan antara hal yang baik dan buruk serta dapat menjaga adab di masjid. Adapun bagi anak-anak yang belum tamyiz yang secara umum belum mampu mengontrol perilaku dan berpotensi besar menyebabkan gangguan atau mengotori masjidmaka haram hukumnya membawa mereka masuk ke dalam masjid, meskipun dengan tujuan memberikan pengajaran agama.[7]
Adapun mengenai batasan usia tamyiz, para ulama tidak menentukan dengan angka usia tertentu, melainkan meninjau dari kemampuan dan kesiapan anak secara perilaku dan kognitif. Dalam pandangan para fuqaha, ukuran tamyiz lebih bersifat fungsional daripada kronologis. Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in menjelaskan bahwa tanda seorang anak telah mencapai fase tamyiz adalah ketika ia sudah mampu makan, minum, dan bersuci (cebok) sendiri tanpa bantuan orang lain.[8] Dengan demikian, anak yang sudah mencapai tahap kemandirian dasar ini dianggap telah memiliki Cognitive Development yaitu proses di mana anak mengembangkan kemampuan berpikir, memahami, mengingat, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan seiring pertumbuhan usianya. Oleh karena itu, membawa anak yang sudah berada di fase ini ke masjid tidak hanya diperbolehkan, tetapi disunnahkan, terutama jika bertujuan untuk memberikan pendidikan keagamaan (ta‘līm) sejak dini serta menumbuhkan rasa cinta dan keterikatan spiritual terhadap rumah Allah. Pendekatan ini menunjukkan bahwa pendidikan ibadah yang efektif tidak hanya ditentukan oleh usia, tetapi juga oleh kesiapan anak untuk memahami dan menghormati tempat suci tersebut.
Beberapa uraian yang telah disajikan di atas menunjukkan bagaimana para ulama berijtihad dengan penuh kehati-hatian dalam menimbang antara maslahat (manfaat) dan mafsadah (kerusakan) terkait hukum membawa anak kecil ke masjid. Persoalan ini memang mengandung dilema: di satu sisi, membawa anak ke masjid dapat menjadi sarana pendidikan dini dalam agama dan menumbuhkan kecintaan terhadap ibadah di hati mereka; namun di sisi lain, terdapat potensi anak-anak tersebut mengganggu ketertiban dan kekhusyukan ibadah, bahkan bisa jadi mengotori masjid, Namun demikian, dalam konteks perkembangan zaman modern dan kemajuan pendidikan parenting, banyak orang tua kini mampu menanamkan adab dan kedisiplinan sejak dini kepada anak-anak mereka. Dengan metode pengasuhan yang baik, potensi anak untuk mengotori atau mengganggu suasana masjid dapat diminimalisasi secara signifikan. Karena itu, ijtihad ulama di masa kini juga perlu mempertimbangkan aspek perkembangan psikologi anak dan pola pengasuhan modern, agar keputusan hukum dapat tetap sejalan dengan semangat menjaga kesucian masjid, tanpa mengabaikan fungsi pendidikan spiritual bagi generasi muda.
Pembentukan Karakter dalam Psikologi
Dalam perspektif psikologi perkembangan, pembentukan karakter dan moral anak sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognitif dan lingkungan sosialnya. Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg menjelaskan bahwa perkembangan moral pada anak terjadi secara bertahap melalui tingkatan tertentu yang tidak bisa dilompati begitu saja. Kemampuan anak untuk memahami konsep baik dan buruk bergantung pada kematangan berpikirnya. Menurut Kohlberg, anak mulai mampu memahami nilai moral dan menalar perbuatan baik atau buruk ketika telah mencapai usia sekitar empat tahun ke atas,[9] karena pada tahap ini perkembangan kognitifnya sudah memungkinkan untuk menangkap makna etika secara sederhana. Lebih lanjut, Kohlberg menegaskan bahwa penalaran moral (moral reasoning) adalah dasar logika ideal yang digunakan seseorang untuk menilai apakah suatu tindakan bernilai baik atau buruk. Penalaran moral ini dapat berkembang melalui proses pendidikan dan interaksi sosial yang melibatkan aktivitas berpikir dan pertukaran pandangan dengan lingkungan sekitar.[10]
Dalam konteks pendidikan Islam, prinsip ini sejalan dengan pandangan Nasih Ulwan yang menekankan pentingnya keteladanan orang tua sebagai media pendidikan moral bagi anak sejak dini. [11] Dengan demikian, membawa anak ke masjid sejak kecil dapat menjadi bagian dari proses pembelajaran moral, karena lingkungan masjid yang kondusif mendorong anak untuk mengenal nilai-nilai kebaikan, kedisiplinan, dan ketertiban yang kelak membentuk karakter positif di masa dewasanya.
Dengan meninjau berbagai aspek yang telah dijelaskan sebelumnya, termasuk perkembangan ilmu psikologi, teori pendidikan moral, serta pola pengasuhan modern, tampak bahwa membawa anak kecil ke masjid semestinya tidak serta-merta dilarang hanya karena adanya potensi gangguan kecil seperti kebisingan atau ketidaknyamanan sementara. Pola asuh modern memungkinkan orang tua untuk mengantisipasi potensi negatif tersebut dengan membekali anak adab dan kedisiplinan sejak dini.
Oleh karena itu, pelarangan anak masuk ke masjid seharusnya tidak didasarkan semata pada kemungkinan kecil terjadinya gangguan Ketika mereka belum tamyiz, melainkan pada pertimbangan nyata akan maslahat dan mafsadah yang ditimbulkan. Justru sisi positif dari pembiasaan anak hadir di lingkungan ibadah, seperti tumbuhnya kecintaan terhadap masjid dan terbentuknya karakter religius, merupakan hal yang memiliki dampak jangka panjang dan signifikan bagi perkembangan moral anak.
Kesimpulan
Para ulama salaf juga menegaskan pentingnya bersikap proporsional dalam menimbang antara maslahat dan mafsadah. Mereka mengingatkan agar umat tidak terjebak dalam ketakutan berlebihan terhadap kemungkinan munculnya mafsadah yang sifatnya hanya potensial dan kecil, hingga akhirnya meninggalkan maslahat besar yang bersifat nyata dan pasti. Prinsip dasar dalam kaidah fiqh menyebutkan bahwa “tidak boleh meninggalkan maslahat yang kuat hanya karena khawatir akan mafsadah yang lemah.”[12] Dengan demikian, selama potensi gangguan yang mungkin ditimbulkan oleh anak kecil di masjid masih dalam batas wajar dan dapat dikendalikan, maka maslahat besar berupa pembiasaan ibadah dan penanaman kecintaan terhadap masjid seharusnya lebih diutamakan.
Di sisi lain, ulama yang melarang membawa anak kecil ke masjid karena alasan dapat mengganggu ketertiban ibadah pada dasarnya menimbang bentuk gangguan yang bersifat signifikan dan tidak dapat ditoleransi. Jika gangguan yang ditimbulkan masih tergolong ringan, dapat dikendalikan, atau bersifat wajar bagi anak-anak, maka hukum larangan tersebut tidak lagi berlaku secara mutlak.[13] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kehadiran anak di masjid bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan perlu diatur dengan pendekatan edukatif dan pengawasan yang baik. Prinsip ini tidak hanya menjaga kehormatan masjid, tetapi juga membuka ruang bagi pendidikan spiritual sejak dini yang menjadi fondasi bagi terbentuknya generasi yang cinta ibadah dan menghormati rumah Allah.
Baca Juga: Dilema Shalat Jama’ah: Antara di Masjid atau di Rumah bersama Istri?
[1] Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 1, 1415 H), Juz 1, hlm 637.
[2] Muḥammad bin ʿAlī al-Syaukānī, Nayl al-Awṭār, tahqiq ‘Iṣām al-Dīn al-Ṣabbābīṭī (Mesir: Dār al-Ḥadīth, 1993), juz 2, hlm 144.
[3] Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Bantani, Nihāyat al-Zayn fī Irsyād al-Mubtadi’īn (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), Hlm 117.
[4] Fitriani, A., Budimansyah, D., & Komalasari, K. THE COACHING DISCIPLINE STUDENTS THROUGH MODEL OF HABITUATION IN DAARUT TAUHID BOARDING SCHOOL BANDUNG. JURNAL CIVICUS, 14(1).
[5] Muḥammad bin Aḥmad al-Khaṭīb al-Syirbīnī, Mughnī al-Muḥtāj ilā Maʿrifat Maʿānī Alfāẓ al-Minhāj (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), juz 1, Hlm 426.
[6] Zakariyya al-Anshari, Asnā al-Maṭālib fī Syarḥ Rawḍ al-Ṭālib, (Beirut: Dār al-Kitāb al-Islāmī, t.t.), juz 2, Hlm 450.
[7] Ibn Ḥajar al-Haitamī, al-Fatāwā al-Fiqhiyyah al-Kubrā, (Beirut: al-Maktabah al-Islāmiyyah, t.t.), juz 1, Hlm 61.
[8] Zainuddin al-Malibari, Fatḥ al-Mu‘īn bi Syarḥ Qurrat al-‘Ain bi Muhimmāt al-Dīn (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, t.t.), Hlm 38.
[9] Piaget, J., Moral Judgement of The Child, New York: Free Press, 1965
[10] John de Santo. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Lawrence Kohlberg. 1995. (Yogyakarta: Kanisius).
[11] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil-Islam, terj. Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali, Pedoman Pendidikan anak dalam Islam, Semarang : Asy-Syifa, 1992. Jilid II.
[12] Abd al-Rhman al-Masyhur, Bughyatul Musytarsyidin, (Beirut: Libanon, 1994 M), Hlm 337.
[13] Ibn Ḥajar al-Haitami, Tuḥfat al-Muḥtāj fī Sharḥ al-Minhāj, (Kairo: al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā li-Ṣāḥibihā Muṣṭafā Muḥammad, 1357 H/1983 M), Juz 4, Hlm 61.
Penulis: Ma’sum Ahlul Choir, Mahasantri Marhalah Tsaniyah (M2) Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Sutan
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door