
Bahaya FYP dan Algoritma: Bagaimana Media Sosial Menggerus Kebebasan Berpikir
Tahun 2025 ini bangsa Indonesia memperingati 80 tahun kemerdekaan. Setiap kali kita mengenang proklamasi, ingatan kita selalu diarahkan pada perjuangan untuk merdeka dari penjajahan fisik. Namun, di era digital, bentuk penjajahan itu tampil dengan wajah baru: bukan lagi kolonialisme bersenjata, melainkan cengkeraman algoritma yang diam-diam mengendalikan cara manusia berpikir dan bertindak. Jika kemerdekaan 1945 adalah kebebasan politik, maka tantangan kita hari ini adalah meraih kemerdekaan berpikir di tengah banjir informasi yang dikuasai mesin.
Di era digital, manusia hidup dalam banjir informasi yang tampak tak terbatas. Namun, di balik layar, sesungguhnya bukan manusia yang mengendalikan arus informasi, melainkan algoritma. Ia adalah kekuatan tak terlihat yang menyusun realitas sehari-hari kita. Melalui setiap klik, like, dan durasi menonton, algoritma menyaring data lalu menyajikan konten yang dianggap “paling cocok” dengan referensi yang dicari oleh user/pengguna media sosial. Akibatnya, kebebasan berpikir yang dulu diagungkan, kini kian semu karena arah pikiran kita lebih sering ditentukan oleh kalkulasi mesin ketimbang refleksi diri.
Fenomena FYP (For You Page) di platform populer seperti TikTok atau Instagram Reels menjadi contoh paling gamblang dari logika algoritma ini. Kita merasa bebas memilih, padahal sesungguhnya kita diarahkan. FYP membuat kita larut dalam pusaran konten tanpa henti, sesuai selera sesaat yang terekam algoritma. Perlahan, kita kehilangan kesempatan menghadapi hal-hal yang berbeda dari preferensi pribadi. Kita tidak lagi berlatih menimbang, menguji, atau berdialog dengan realitas yang lebih luas. Padahal, kemampuan menghadapi perbedaan dan ambivalensi inilah inti dari proses kedewasaan.
Di titik ini, ancaman algoritma terhadap kedewasaan menjadi jelas. Salah satu ciri utama kedewasaan adalah kemampuan menemukan titik temu di antara dua hal yang tampak bertentangan, dua paradoks yang pada dasarnya saling melengkapi. Kedewasaan lahir dari kesanggupan mengelola ambivalensi: berani berbeda, tetapi tetap mencari harmoni. Namun, ketika algoritma terus-menerus mengurung manusia dalam konten yang seragam, ruang untuk menghadapi paradoks itu menyempit. Kita hanya dipertemukan dengan apa yang ingin kita lihat, bukan dengan apa yang perlu kita hadapi.
Kondisi ini mendorong masyarakat digital mundur ke fase psikologis yang lebih infantil. Kita terbiasa hidup dalam kenyamanan instan, kepastian palsu, dan kebenaran sepihak. Alih-alih tumbuh menjadi individu dewasa yang matang, kita justru terjebak dalam siklus kesukaan sesaat yang direkayasa. FYP bukan sekadar hiburan; ia bisa menjadi mesin pembunuh kedewasaan. Bahaya lebih jauh adalah hilangnya otonomi berpikir. Ketika pikiran hanya bergerak mengikuti algoritma, kita kehilangan kemandirian untuk membentuk horizon pengetahuan yang lebih luas. Pada akhirnya, algoritma tidak hanya mengendalikan perilaku digital, tetapi juga mengintervensi kualitas kemanusiaan kita yang paling mendasar: kebebasan untuk berpikir dan bertumbuh menjadi dewasa.

Al-Qur’an memberi kita isyarat penting tentang makna kedewasaan melalui simbol dan kisah. Salah satunya terdapat dalam konsep “pertemuan dua laut” (majma‘ al-bahrayn). Dua laut yang berbeda rasa, asin dan tawar, pada hakikatnya berjumpa tanpa meniadakan keunikannya. Pertemuan ini adalah simbol paradoks yang justru melahirkan kedalaman makna: titik temu dalam perbedaan. Di sinilah kita diajarkan bahwa kedewasaan tidak lahir dari menolak salah satu kutub, melainkan dari keberanian untuk menghadapi keduanya secara bersamaan.
Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam surat Al-Kahfi menegaskan pelajaran ini. Nabi Musa, sebagai sosok yang hidup dalam hukum syariat yang jelas, sulit menerima tindakan Khidir yang tampak tidak masuk akal: merusak kapal, membunuh seorang anak, dan membangun tembok tanpa imbalan. Musa segera bereaksi, bahkan menolak, karena dari kacamata moralitas umum tindakan itu keliru. Perlu dicatat, tindakan Khidir ini adalah kekhususan dari Allah yang tidak berlaku bagi siapa pun setelahnya. Dengan kata lain, tidak ada legitimasi bagi manusia modern untuk meniru perbuatan Khidir, karena ia semata menjalankan perintah khusus dari Allah.
Sikap Musa pun tidak merendahkan martabatnya sebagai Nabi. Justru, apa yang dilakukannya adalah ekspresi dari keteguhan beliau dalam amar ma‘ruf nahi munkar: membela kebenaran dan menolak keburukan sesuai ilmu yang dimilikinya. Allah seakan ingin mengajarkan bahwa meskipun Musa adalah seorang Nabi, ada hal-hal yang tetap berada di luar pengetahuannya. Karena itu, Allah mengarahkan Musa agar rendah hati, terus belajar, dan mengakui keterbatasannya. Dengan cara ini, Musa mendapat pelajaran bahwa jalan menuju kedewasaan rohani menuntut dua hal pokok: pengetahuan dan kesabaran.
Jika kita bandingkan, FYP justru mengajarkan hal sebaliknya. Ia membiasakan manusia untuk hidup dalam kepastian palsu, hanya disuguhi konten yang sesuai selera, tanpa kesempatan untuk bersabar menghadapi yang asing, berbeda, atau membingungkan. FYP menjauhkan manusia dari proses belajar dewasa. Paradoks yang seharusnya menjadi ruang latihan kesabaran dan pengetahuan, lenyap diganti gratifikasi instan.
Krisis terbesar yang ditimbulkan algoritma bukan sekadar bias informasi, melainkan hilangnya ruang bagi manusia untuk bertumbuh menjadi dewasa. Kedewasaan sejati hanya lahir ketika manusia berani menempuh jalan Musa: mengakui keterbatasan, bersabar dalam kebingungan, dan menimba ilmu dari realitas yang penuh paradoks. Jika tidak, kita hanya akan menjadi generasi digital yang cerdas secara teknis tetapi rapuh secara psikologis dan spiritual, selamanya terjebak dalam FYP, dan selamanya gagal menjadi dewasa.
Maka, tantangan terbesar kita hari ini bukan sekadar bagaimana menggunakan media sosial secara bijak, tetapi bagaimana menjaga ruang kedewasaan di tengah cengkeraman algoritma. Al-Qur’an telah menuntun bahwa kedewasaan lahir dari kesanggupan menghadapi paradoks dengan sabar dan ilmu. Sementara FYP menggiring kita ke arah sebaliknya, manusia ditantang untuk melawan arus algoritma dengan kesadaran kritis, agar tidak kehilangan martabatnya sebagai makhluk yang berpikir merdeka.
Baca Juga: Krisis Kepercayaan terhadap Media Arus Utama, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime