
Islam dan Perempuan: Narasi yang Perlu Diluruskan
Dari forum-forum besar sampai ke tongkrongan biasa, membicarakan topik perempuan tidak ada habisnya. Selalu ramai yang membicarakan tentang hak-hak, kebebasan, tubuh, sampai ke keputusannya. Namun anehnya, dalam riuh suara yang mengaku membela perempuan, Islam justru sering dituding sebagai agama yang membelenggu, mengenyampingkannya dan seterusnya.
Padahal jika kita bersedia membuka lembaran sejarah dengan hati yang terbuka, kita akan mendapati bahwa perempuan pernah berada di titik nadir peradaban. Bahkan di tempat-tempat yang hari ini kerap diklaim sebagai pemegang obor kemajuan dan pembebasan. Ketika orang-orang menggugat Islam atas tuduhan penindasan terhadap perempuan, barangkali mereka lupa (atau memilih tidak tahu) bagaimana dunia memperlakukan perempuan sebelum datangya wahyu.
Dalam satu pelajaran dari kitab Silsilah Imaniyyat, sang penulis mengajak pembaca untuk kembali sadar, dan menoleh, ke India, ke Roma, bahkan ke Jazirah Arab sebelum Islam. Di sana perempuan tidak lebih dari benda. Di sebagian peradaban, perempuan tak layak mewarisi, tak layak bicara di depan umum, bahkan tak layak hidup. Dulu di kalangan jahiliah, sebagian suku mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup, karena malu. Hingga Allah Swt mengabadikan jeritan itu dalam al-Qur’an:
وَإِذَا ٱلْمَوْءُۥدَةُ سُئِلَتْ بِأَىِّ ذَنۢبٍ قُتِلَتْ
Artinya: “Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya: karena dosa apakah dia dibunuh?” (QS. At-Takwir: 8-9). Jadi makna ayat ini merupakan celaan bagi para pembunuh.

Maka datanglah Islam, bukan sekadar menghapuskan kebiasaan itu, tapi membalik seluruh struktur nilai yang selama ini menindas perempuan. Dan ini bukan retorika belaka. Ini tercatat dalam wahyu, dalam sejarah, dan dalam laku hidup Rasulullah Saw. Perempuan dalam pandangan Islam bukan objek, bukan milik, tapi amanah. Bahkan Nabi bersabda dalam khutbah terakhirnya yang mengguncang Arafah:
كما في مسلم من حديث جابر بن عبد الله -وهو حديث طويل- وفيه قال ﷺ: (اتقوا الله في النساء؛ فإنكم أخذتموهن بأمان الله، واستحللتم فروجهن بكلمة الله)
Artinya: “Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadis jabir bin Abdillah (hadis ini panjang) di dalamnya Nabi bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam (memperlakukan) perempuan, karena kalian mengambil mereka (sebagai istri) dengan amanah dari Allah, dan kalian menghalalkan kehormatan mereka (berhubungan suami istri) dengan kalimat Allah.”
Jadi ini adalah salah satu pernyataan paling tegas dari Rasulullah Saw bahwa relasi antara suami dan istri bukan semata-mata hubungan biologis, tapi hubungan sakral yang dibangun atas nama Allah Swt dan harus dijaga dengan takwa.
Dalam kitabnya, Muhammad Hassan menyebutkan bagaimana penghormatan Islam tak berhenti di tataran normatif. Ia diwujudkan dalam bentuk konkret, sebagai ibu, perempuan didahulukan tiga kali sebelum ayah dalam perkara bakti, sebagai istri, Islam mengharuskan laki-laki berbuat baik, bahkan menjadikan kebaikan kepada istri sebagai ukuran keutamaan. Dalam suatu kesepatan Rasulullah Saw pernah menyampaikan:
وإنما كرمها زوجة فقال: (اتقوا الله في النساء)، وقال: (استوصوا بالنساء خيرًا)، وقال: (إنما النساء شقائق الرجال)، وقال: (خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلي
Artinya: “Dan beliau (Nabi) memuliakan perempuan sebagai seorang istri, maka beliau bersabda: “bertakwalah kalian kepada Allah dalam memperlakukan perempuan.” Dan beliau juga bersabda: “berbuatlah baik kepada para perempuan.” Serta bersabda: “Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” Dan kemudian beliau bersabda: ….”sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” Lagi-lagi semua ini menggambarkan pernghormatan luar biasa Islam terhadap perempuan sebagai mitra hidup.
Lebih dalam, Islam memuliakan perempuan dalam kondisi yang paling rentan, saat ia masih kecil, belum bisa membela diri. Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Aisyah radiyallahu ‘anha, diceritakan ada seorang ibu yang datang meminta sedekah hanya dengan dua anak perempuannya. Dia diberi sebutir kurma saja oleh Aisyah. Kemudian ibu itu membelah kurma itu menjadi dua, dan memberikannya pada anak-anaknya. Nabi Saw yang melihat itu, kemudian bersabda: “Siapa yang mengasuh dua anak perempuan hingga dewasa, maka ia akan bersamaku di surga seperti dua jari ini (sambil merapatkan jari telunjuk dan tengahnya).”
Di sinilah letak bedanya Islam. Islam tidak memuliakan perempuan karena kekuatan fisik, kecantikan, atau performa publik, tapi karena kelembutan, kasih sayang, dan tanggung jawab. Kemuliaan perempuan dalam Islam bukanlah produk sosial, tapi bagian dari aqidah.
Lalu datanglah zaman sekarang ini, yang sebenarnya tidak jauh beda dari jaman jahiliah. Bagaimana perempuan diperlakukan hari ini? Di belahan Barat atau di manapun (kalau sekarang), perempuan dilihat sebagai alat pemasaran. Dipakai selama masih muda dan cantik, lalu dibuang ke panti jompo. Dalam kisah nyata yang diceritakan penulis kitab Silsilah Imaniyyat, ketika mengunjungi Hongaria, ia menjumpai seorang nenek tua yang telah duduk bermain dengan anjingnya selama tujuh jam. Ketika ditanya, ia menjawab bahwa ia tidak punya siapa-siapa. Anaknya datang hanya setahun sekali. “Aku hidup hanya untuk menemani anjingku,” katanya.
Kontras dengan Islam yang meletakkan ibu sebagai pintu surga, budaya modern mengubah ibu menjadi penghalang ambisi. Di dunia yang ramai mengusung kebebasan, perempuan ditinggalkan saat tak lagi bisa menari di panggung komersialisasi. Dan di tengah gempuran globalisasi nilai ini, sebagian dari saudari-saudari kita mulai ragu terhadap ajaran yang sebenarnya telah memuliakan mereka. Mereka bertanya kenapa harus berhijab, kenapa harus membatasi pergaulan, kenapa harus menjaga diri? Mereka lupa, bahwa peraturan bukan selalu bentuk pengekangan. Kadang justru itu adalah bentuk perlindungan yang paling tulus.
Sebagaimana kita menyimpan perhiasan berharga di tempat yang aman dan tak semua mata bisa memandangnya, maka seperti itulah Islam memposisikan perempuan. bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dihormati. Islam tidak menjadikan perempuan suci karena dia sempurna. Tapi justru karena ia manusia yang layak dihormati dengan seluruh fitrahnya, dengan emosinya, perasaannya, kasih sayangnya, bahkan air matanya.
Perempuan bukan harus menjadi laki-laki untuk dihargai. Islam tidak menuntut perempuan menjadi tiruan dari pria. Tapi Islam menegaskan: perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Setara dalam kehormatan, saling melengkapi dalam fungsi, dan seimbang dalam tanggung jawab. Maka hari ini, saat dunia berlomba mendefinisikan ulang makna kebebasan, perempuan Muslimah punya pilihan, apakah mengikuti arus yang menjadikannya sekadar tubuh, atau kembali pada petunjuk yang mengangkatnya sebagai insan yang utuh.
Dan sebagaimana ditutup dalam kitab itu, “Tak ada yang memuliakan perempuan sebagaimana Islam memuliakannya. Dan tak ada sistem yang benar-benar menjaga kehormatan perempuan sebagaimana Islam menjaganya.”
Baca Juga: Perempuan dan Industri Kecantikan
Penulis: Thoha Abil Qasim
Editor: Muh. Sutan
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime