
Menyikapi Isu Seputar Insiden Pesantren dengan Nalar dan Nurani
Beberapa hari terakhir, media sosial ramai membahas robohnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo. Insiden itu menelan korban jiwa dan membuat banyak pihak berduka. Namun di balik peristiwa tragis itu, muncul gelombang opini yang tak kalah heboh. Ada yang menyoroti kualitas bangunannya, ada yang mengkritik tata kelolanya, dan ada pula yang menilai ini bagian dari upaya sistematis menjatuhkan marwah ulama serta pesantren.
Tidak semua kritik bisa dijatuhi sebagai ujaran kebencian atau komentar negatif lainnya. Kadang justru berasal dari rasa peduli sebagai sesama manusia atau sebagai penilaian terhadap sesuatu. Ketika masyarakat mempertanyakan konstruksi bangunan, izin pembangunan, atau standar keamanan santri, hal itu bisa dilihat sebagai keprihatinan dan kepedulian agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Kritik yang disampaikan dengan cara baik dan berdasarkan realita dimasyarakat akan membentuk respon yang baik pula. Jika terdapat suatu tanggapan yang mengarah kepada hal negatif yang dianggap sebagai serangan terhadap Islam, jangan terburu-buru untuk menghakimi.
Baca Juga: Transformasi di Balik Tembok Pesantren
Di sisi lain, apabila benar terdapat pihak-pihak yang memanfaatkan sebuah tragedi untuk menebar ujaran kebencian atau merendahkan pesantren, hal itu menunjukkan pentingnya kecerdasan sosial dan spiritual umat dalam menyikapi informasi. Masyarakat, khususnya umat Islam, harus memiliki kemampuan untuk memilah mana informasi yang benar dan mana yang bersifat provokatif. Tidak semua kritik terhadap pesantren atau lembaga keagamaan harus ditolak mentah-mentah, sebab sebagian kritik justru bisa menjadi masukan berharga untuk melakukan introspeksi dan perbaikan.
Namun tidak semua isu yang beredar di media sosial patut dipercaya tanpa proses tabayyun terlebih dahulu. Sikap selektif ini menjadi kunci agar umat tidak mudah terprovokasi oleh narasi negatif yang dapat memecah belah persaudaraan. Dengan demikian, keseimbangan antara keterbukaan terhadap kritik dan kehati-hatian terhadap provokasi adalah bentuk kecerdasan beragama dan berkomunikasi di era digital.

Menegakkan Marwah Ulama Melalui Transparansi dan Akhlak
Mempertahankan ideologi pesantren dengan menjaga kehormatan ulama tidak harus dilakukan dengan memberi argumentasi yang berapi-api atau terkesan memaksakan di media sosial. Cara terbaik justru dengan menunjukkan bahwa lembaga Islam, termasuk pesantren, mampu dikelola secara profesional, akuntabel, dan terbuka terhadap kritik yang membangun.
Ketika terjadi insiden atau persoalan yang melibatkan lembaga keagamaan, langkah paling bijak adalah menjelaskan duduk perkaranya secara jujur dan terbuka. Misalnya, bagaimana proses pembangunan dilakukan, siapa pihak pelaksana atau kontraktornya, apakah terdapat kelalaian teknis, serta langkah tindak lanjut seperti apa yang akan diambil. Keterbukaan semacam ini tidak akan melemahkan otoritas pesantren, namun justru akan menumbuhkan kepercayaan dikalangan masyarakat.
Pesantren merupakan benteng moral dan spiritual bagi bangsa. Namun, benteng yang kokoh harus berdiri diatas tanggung jawab, kejujuran, dan keterbukaan. Karena itu, membangun kepercayaan umat jauh lebih penting daripada sekadar membela diri secara emosional. Kepercayaan akan lahir dari baiknya akhlak dan profesionalitas suatu lembaga, bukan dari narasi yang menuding adanya ‘penyerangan’ terhadap lembaga Islam.
Menyaring Narasi Menjaga Keutuhan Umat
Kita sekarang hidup dizaman yang dimana informasi menyebar lebih cepat dan beresiko karena perkembangan teknologi komunikasi modern, terutama media sosial dan internet, yang memungkinkan penyebaran konten secara instan dan masif. Hal ini juga dibarengi dengan kecenderungan untuk membagikan informasi tanpa verifikasi, serta adanya algoritma yang mengutamakan konten viral. Bahkan kadang sebelum berita resmi keluar, opini sudah lebih dulu viral. Disinilah pentingnya literasi digital dan literasi keagamaan.
Baca Juga: Pesantren Tebuireng Salurkan Donasi untuk Pesantren Al Khoziny Sidoarjo
Umat Islam harus bisa menahan diri dari prasangka. Tidak semua yang viral itu pasti benarnya, dan tidak semua yang kritis itu bisa dianggap jahat. Kita perlu kembali pada prinsip tabayyun, mengkaji kebenarannya sebelum menyimpulkan. Kalau setiap kritik langsung kita tafsirkan sebagai bagian dari konspirasi menjatuhkan Islam, kita akan sibuk mencurigai semua orang dan lupa memperbaiki hal-hal yang memang perlu dibenahi. Islam mengajarkan keseimbangan tentang husnuzan (berprasangka baik) dan fikr (berpikir sehat). Dua hal itu yang perlu kita hidupkan lagi di tengah gaduhnya media sosial saat ini.
Insiden di Al Khoziny mestinya jadi pelajaran bersama, bukan bahan saling serang. Ulamanya tetap kita hormati, pesantrennya tetap kita jaga, tapi sistemnya juga perlu kita benahi. Menjaga marwah ulama bukan berarti menutup mata terhadap kelemahan. Justru dengan berani memperbaiki dan terbuka terhadap kritik, maka kehormatan itu akan semakin tinggi. Sebaliknya, umat juga perlu bijak. Jangan mudah percaya pada narasi yang memecah-belah, tapi juga jangan abai terhadap hal-hal yang memang perlu dikritisi. Islam yang kokoh lahir dari ulama yang mumpuni dan umat yang cerdas. Kalau dua-duanya berjalan beriringan, tidak ada narasi apa pun yang bisa memisahkan kita dari keyakinan dan kasih sayang terhadap agama.
Penulis: Helfi Livia Putri
Editor: Rara Zarary
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door