Si Mata Biru dari Ujung Sumatra: Jejak Portugis di Tanah Lamno
Jika Anda menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam dari Banda Aceh menuju barat, akan tampak sebuah kawasan pesisir bernama Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Hamparan lautnya berwarna toska, pasirnya putih lembut, dan udaranya masih segar tanpa hiruk pikuk kota. Namun keindahan alam bukan satu-satunya hal yang memukau di sini. Ada keunikan lain yang membuat Lamno disebut “desa bermata biru”.
Di antara masyarakat berlogat Aceh kental dan berbusana muslim yang santun, sesekali tampak wajah-wajah berkulit putih langsat, berhidung mancung, dan bermata biru jernih. Mereka bukan wisatawan asing, melainkan “Bule Lamno” sebutan bagi warga keturunan Portugis yang telah berakar di bumi Aceh selama lebih dari lima abad.
Jejak Sejarah dari Lautan Samudra Hindia
Kisah ini bermula sekitar abad ke-16, ketika kapal-kapal Portugis berlayar ke perairan barat Aceh. Sejumlah catatan kolonial menyebutkan bahwa pelaut Portugis mendarat di pesisir Lamno, sebagian karena berdagang rempah, sebagian lagi karena kapal mereka karam akibat badai.
Dari pertemuan yang tak direncanakan itu, lahirlah kisah cinta lintas benua. Para pelaut Eropa yang selamat menikah dengan perempuan Aceh, memeluk Islam, dan hidup mengikuti adat setempat. Dari pernikahan inilah muncul generasi Aceh yang mewarisi gen biru Eropa, fenomena antropologis yang unik di Nusantara. “Mereka bukan lagi orang asing, melainkan bagian dari masyarakat Aceh yang menjaga adat dan agama dengan teguh,” tutur Pak Malik (57), seorang tetua adat Lamno.

Secara genetika, fenomena ini dapat dijelaskan melalui pewarisan gen resesif untuk warna mata biru dan kulit terang. Menurut riset genetika populasi, jika dua individu membawa gen yang sama—meskipun sudah bercampur dengan gen lokal selama beberapa generasi—kemungkinan lahirnya anak bermata biru tetap ada. Di Lamno, hal itu nyata terlihat. Sejumlah anak-anak masih lahir dengan mata biru laut atau rambut pirang samar. Sebuah simbol bahwa jejak Portugis di Aceh bukan sekadar catatan sejarah, tapi juga hidup dalam DNA manusia.
Darah Bangsawan dan Gelar “Cut”
Menariknya, banyak dari keturunan Portugis di Lamno memiliki hubungan dengan keluarga bangsawan Aceh. Dalam sejarah lisan, disebutkan bahwa beberapa pelaut Portugis menikah dengan putri uleebalang atau kepala wilayah. Karena itu, hingga kini sebagian keturunan mereka menyandang gelar “Cut”, gelar bangsawan perempuan Aceh.
Cut Riana (29), salah seorang keturunan yang masih memiliki mata biru samar, menceritakan,
“Kakek buyut saya Cut Sarah, katanya keturunan Raja Daya yang menikah dengan orang Portugis. Mukanya bule, tapi tetap pakai baju adat Aceh dan salat di meunasah.” Keterpaduan dua budaya ini menjelma menjadi identitas baru: Aceh yang terbuka namun tetap berakar pada nilai Islam dan adat.
Tsunami dan Hilangnya Jejak Generasi
Namun gelombang dahsyat tsunami pada Desember 2004 menjadi pukulan besar bagi komunitas ini. Desa-desa di pesisir Lamno yang dihuni ratusan keluarga keturunan Portugis luluh lantak. Data lapangan mencatat, dari sekitar 300 keluarga, hanya sekitar 30 keluarga yang berhasil bertahan hidup. Banyak di antara mereka yang kini menetap di Banda Aceh dan Lhokseumawe.
Tgk. Amiruddin, imam setempat, mengenang, “Banyak wajah bermata biru itu hilang bersama gelombang. Tapi kisah mereka tetap hidup di hati orang Lamno.”
Kini, jejak fisik keturunan Portugis semakin menipis seiring perkawinan campuran. Namun secara sosial dan kultural, memori tentang “bule Lamno” masih kuat tertanam dalam ingatan kolektif masyarakat.
Keindahan yang Lebih dari Sekadar Fisik
Media sering kali menyoroti wajah “bule Lamno” sebagai eksotisme lokal. Padahal, keunikan mereka bukan hanya pada warna mata atau kulit, tetapi pada kekuatan budaya dan iman yang diwariskan lintas generasi.
Ciri khas mereka bukan semata keturunan Eropa, melainkan keteguhan dalam adat dan agama, ketekunan dalam menjaga kebun karet dan nilam warisan leluhur, serta kebanggaan sebagai orang Aceh sejati. Walau berpenampilan seperti orang Eropa, warga Lamno keturunan Portugis memegang teguh nilai-nilai Islam dan adat Aceh. Mereka ikut bergotong royong di meunasah (Surau), menggelar kenduri maulid, dan menari Saman dalam acara adat.
Maria (24), seorang gadis bermata biru dari Lamno, mengaku pernah menjadi bahan ejekan di sekolah karena penampilannya. Namun nasihat sang nenek membuatnya bangga dengan identitas itu.
“Nenek bilang, ini anugerah Allah. Bukti kalau Aceh pernah jadi tempat pertemuan bangsa-bangsa besar,” ujarnya tersenyum.
Kisah bule Lamno mengingatkan bahwa Indonesia adalah mozaik besar pertemuan peradaban. Di sana, darah Portugis, jantung Aceh, dan jiwa Islam berpadu harmonis. Tsunami boleh menghantam, gen boleh memudar, tetapi cerita tentang pelaut Portugis yang menjadi petani Aceh ini tetap hidup sebagai simbol inklusivitas dan ketangguhan budaya Nusantara.
Seperti kata pepatah Lamno yang diwariskan turun-temurun: “Mata kita boleh berbeda warna, tapi darah yang mengalir tetap sama — darah Aceh yang pantang menyerah.”
Penutup
Datanglah ke Lamno bukan hanya untuk berfoto dengan gadis bermata biru, tapi untuk mendengar kisah panjang tentang cinta, sejarah, dan identitas. Sebab di balik warna mata mereka, tersimpan pelajaran penting tentang bagaimana “yang asing” bisa menjadi “kita”. Atau, seperti kalimat puitis yang pernah diadaptasi dari Sapardi Djoko Damono: “Lamno bukan sekadar tentang mata biru, tapi tentang bagaimana sejarah menari di dalam gen manusia.”
Baca Juga: Menanam Iman di Lumpur dan Gambut: Revolusi Hijau Dayah-Dayah Salafi Aceh
Penulis: Hanif, Akademi dan Pengiat Literasi
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door