
Tadarus yang Tak Pernah Tamat
Aku tak pernah berniat untuk jatuh cinta. Hidupku memang tenang, tapi tak banyak istimewanya. Hanya rutinitas sederhana: bangun pagi, membantu ibu menata dagangan di warung, mengantar adik ke madrasah, lalu bekerja. Hidupku seperti lagu nasyid yang sering diputar warga desa: bersih, sederhana, tapi berulang tanpa jeda.
Hingga tiba hari itu, saat dia datang dengan langkah ringan dan wajah yang bersih, seolah tak pernah kering dari air wudu. Namanya Zulfa. Seorang santri dari pondok belakang rumah, yang tahun ini duduk di kelas akhir. Aku pertama kali melihatnya saat ia sedang membersihkan musala bersama teman-temannya. Matanya bulat, gerak-geriknya tenang dan lembut. Wajahnya putih khas orang Sunda. Dan suaranya—entah bagaimana menjelaskannya, tapi seperti hujan pertama yang turun setelah kemarau panjang.
Sejak itu, aku mulai sering ke musala. Awalnya untuk alasan duniawi, tentu saja. Tapi siapa yang bisa membohongi hati? Niatku mungkin semu, namun langkahku tetap kulanjutkan. Kadang hanya menyapu karpet, atau memperbaiki kabel mikrofon yang rusak. Tapi yang sesungguhnya kerap kuperbaiki adalah detak jantungku sendiri—yang semakin hari semakin sering kehilangan irama saat berada di dekatnya.
Kami mulai saling mengenal. Aku tak sengaja membantunya mengangkat galon air ke asrama. Ia mengucap terima kasih, lalu mengajak bicara. Aku malu, tapi nyaman. Ada keheningan yang tidak canggung saat aku bersamanya. Dari percakapan singkat menjadi candaan kecil yang berkepanjangan. Dari tatapan malu menjadi doa yang diam-diam kupanjatkan tiap malam:
“Ya Allah, kalau boleh… jaga dia untukku. Aamiin.”

Waktu berjalan, tapi aku semakin tak tahu batas. Aku bukan santri. Aku hanya anak rumahan—tak punya pesantren tempat kembali, apalagi silsilah keilmuan. Tapi entah mengapa, Zulfa tak pernah memperlakukan aku seperti orang asing. Kami saling mengingatkan soal ibadah, saling menguatkan saat kesulitan datang. Pernah sekali ia berkata:
“Kalau suatu saat aku nikah, aku pengen sama orang yang sederhana… tapi bisa bikin aku tenang.”
Dan entah kenapa, aku merasa… akulah orang yang ia maksud.
Sampai akhirnya, di malam setelah wisuda santri, aku memberanikan diri menyampaikan niat. Bukan melamar, hanya ingin bilang bahwa aku ingin membawa hubungan ini ke arah yang lebih serius. Zulfa menjawab dengan senyum yang getir.
“Kamu siap ketemu ayahku, Mas?” tanyanya pelan.
“Kalau aku nggak siap, aku nggak akan bawa kamu sejauh ini, Zul.”
“Kalau Ayah nggak suka kamu karena kamu bukan santri, gimana?”
Aku terdiam. Pertanyaannya menamparku seperti silet. Tapi aku mengangguk mantap.
“Aku siap, Zul. Karena kamu adalah orang yang pantas aku perjuangkan.”
Zulfa tersenyum. Tapi matanya tidak. Seolah menyimpan sesuatu yang berat: mungkin air mata, mungkin firasat buruk.
Dua minggu kemudian, aku—Jamal Al-Baihaqi—menginjakkan kaki di rumah Zulfa di Kediri. Aku memakai pakaian terbaik. Keringat dingin membasahi punggung saat bersalaman dengan ayahnya. Seorang lelaki tinggi besar, bersuara berat dan tatapan yang menembus.
“Kerja apa kamu?” tanyanya cepat, bahkan sebelum aku sempat duduk.
“Saya kerja di kantor penerbitan, Pak. Juga bantu Ibu di warung, dan kadang ikut ngurus teknis masjid kalau ada pengajian.”
“Pendidikan terakhir?”
“S1 Teknik Informatika.”
“Pernah mondok?”
Aku terdiam sejenak. “Belum, Pak. Tapi saya rutin ikut majelis ngaji…”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, ia menggeleng pelan.
“Maaf, Nak. Saya nggak ridho anak saya nikah sama kamu. Saya sudah habiskan bertahun-tahun menjaga Zulfa di pondok. Supaya dia terjaga. Supaya dia dapat yang setara. Kamu orang baik, tapi kamu bukan untuk dia.”
Jujur, kata-kata itu menamparku keras. Pelan, tapi menyesakkan. Aku tak sanggup membalas. Hanya menunduk dalam, berusaha menjaga sisa harga diri yang masih bisa kugenggam.
Zulfa tak mengatakan apa-apa hari itu. Ia hanya berdiri di balik pintu, menunduk, tak menatap wajahku. Tak lama, aku pamit. Meninggalkan rumah itu dengan hati remuk seperti tanah longsor.
Beberapa hari kemudian, kabar menyebar: Zulfa dijodohkan dengan seorang ustaz alumni pondok ternama. Katanya hafal 30 juz, seorang pengusaha, dan akan mendirikan lembaga dakwah di Jawa Timur. Semua orang bangga. Semua memberi selamat.
Kecuali aku.
Aku hanya bisa menyaksikan dari kejauhan.
Menjelang hari pernikahannya, sebuah pesan masuk ke HP-ku—yang selama ini sengaja tak pernah kupegang sejak mendengar kabar pernikahannya. Pesan itu datang dari nomor yang masih kusimpan, dan selalu kusematkan.
“Maaf, nggih, Mas. Aku tidak cukup kuat menahan Ayah. Mungkin kamu bukan tak layak, hanya lahir di jalan yang Ayahku tak pahami. Tapi tahu tidak, Mas? Kalau takdir mengizinkan… aku tetap ingin menjadi doa yang kamu ucapkan di akhir tahajudmu setiap malam.”
Malam itu, aku menangis. Seperti anak kecil yang kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali. Aku menghapus pesan itu—bukan karena ingin melupakan, tapi karena ingin mengabadikannya hanya dalam hati. Bukan di layar.
Sejak hari itu, aku mulai jarang ke musala. Bukan karena melupakan Sang Pencipta, tapi karena terlalu banyak kenangan yang menggantung di langit-langit atapnya.
Zulfa kini telah pergi, bersama orang yang direstui keluarganya.
Sedang aku, tetap di sini. Bersama perasaan yang tak pernah diberi izin untuk memiliki.
Ternyata, jatuh cinta memang mudah. Tapi jatuh ke hati yang dilarang untuk kita miliki—itulah luka yang paling dalam dalam hidup ini.
Penulis: Wan Nurlaila Putri
Editor: Rara Zarary
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime